![]() |
“Hidup bukanlah masalah yang harus dipecahkan, tapi kenyataan yang harus dialami,”
‑ begitulah ucap seorang filsuf asal Nordic Country.Dalam kehidupan, setiap masing-masing individu mengalami pertarungan batin, faktor tersebut salah satunya diterpa berbagai masalah sehingga hal itu menyebabkan 'krisis eksistensial'.
Dengan berbagai pilihan hidup antara bahagia dan bermakna, itu bergantung masing-masing individu dalam mengambil keputusan, apakah masih ingin terseret arus kepalsuan atau berani mengambil sikap yang tepat untuk jalan hidupnya?
Yang jelas, Kierkegaard mengambil makna dari jalanan hidupnya, maka tak heran bila cara pandang Kierkegaard sendiri menjadi rujukan filsafat eksistensialis, perjalanan hidupnya banyak menemukan pencerahan dari filsuf-filsuf eksistensialisme sebelumnya.
Di sini, Kierkegaard membicarakan apa makna kehidupan yang telah dilaluinya, ia membawa konsep hidup 'Tahapan Eksistensi' dengan memberikan sebuah tahapan-tahapan baginya sangat filosofis.
Konsep awal mewakili cara hidup serta pengalaman yang berbeda, Pertama Tahap Estetika, di tahap ini individu dapat melewati tantangan hedonistik. Bagaimanapun hedonistik ini selalu memberikan kesenangan-kesenangan yang tidak membuahkan makna dalam hidup, Kierkegaard mengajarkan untuk menghindari hal itu, ini penting untuk dilalui agar hal-hal yang berbau kesenangan, kepuasan, dan pengalaman untuk dihindari.
Baca Juga : Soren Kierkegaard dan Gangguan Kecemasan
Kierkegaard sendiri menilai untuk tahap Estetika individu harus mampu mengendalikan diri dari egonya, sebab mementingkan diri sendiri tidak akan membawa individu untuk membuka cakrawala lebih luas, Kedua Tahap Etis, Hidup selanjutnya bagi Kierkegaard ialah menyadari tanggung jawab, menurutnya individu yang lepas dari tahap Estetika harus mau untuk bersedia tidak mementingkan egonya sendiri.
Pengorbanan bagi dirinya sulit untuk masuk dalam dimensi kebaikan bersama. Penggambaran mengenai Tahap Etis ini dilakukan oleh Kierkegaard untuk mencapai rasa kegelisahan atas dirinya sendiri, sehingga mau tidak mau untuk masuk dalam tahap ini jiwa keegoanya harus melebur. Bagaimanapun Kierkegaard memaknai kehidupan selanjutnya untuk memiliki komitmen bersama.
Hubungan sosial penting untuk dijaga, dalam urusan ini Kierkegaard tidak ingin terlalu memikirkan dirinya sendiri secara terus-menerus. Ia menaruh keperihatinan bahwa persoalan tersebut jauh lebih besar daripada hidup semestinya. Sehingga yang diinginkanya individu memiliki prinsip-prinsip moral yang dianut.
Baca Juga : Antara Absurditas Camus dan Kierkegaard
kemudian, Ketiga Tahap Relegius, untuk melanjutkan makna kehidupan yang terkahir Kierkegaard menaruh Tahap Relegius ini menjadi kesadaran masing-masing individu, ia sempat mengimajinasikan dirinya menjadi personal yang kecil dihadapan tuhanya. Meski dalam sejarah kehidupan Kierkegaard sendiri tidak mengikuti jalan normatif dari Gereja.
Hubungan tuhan dan individu harusnya interpersonal bagi Kierkegaard, ia menilai bahwa relegiusitas individu tidak bisa dinilai hanya berdasarkan landasan penilaian rasionalitas manusia. Bahkan pihak otoritas keagamaan tidak bisa menilai relegiusitas masing-masing individu. [Yogi Zidan]
KOMENTAR