Absurdisme sebagai pembahasan filosofis, dikenal sebagai hasil pemikiran filsuf eksistensialisme Albert Camus. Sepanjang karyanya, Camus secara menggambarkan absurdisme sebagai hubungan antara keinginan manusia untuk mencari nilai dan makna yang melekat dalam hidup. Sementara pada saat yang sama tidak dapat membangun salah satunya dalam suatu kepastian.
Camus tidak menganggap alam semesta sebagai sesuatu yang absurd dan mengejar makna atau nilai sebagai konsep yang tidak masuk akal. bagi Camus yang membuat pengejaran makna menjadi absurd adalah hubungan kita dengan alam semesta dan pengejaran makna. Misalnya, semakin kita mencari makna, hidup kita semakin tidak bermakna.
Penjelasan mengenai absurdisme salah satunya di jelaskan melalui karyanya The Myth of Sisyphus. Camus menyatakan satu-satunya masalah sejati yang harus dijawab oleh filsafat adalah pertanyaan tentang bunuh diri. Camus berargumen bahwa pertanyaan tentang metafisika, esensi, atau moralitas menjadi sia-sia jika filsafat tidak menjawab pertanyaan apakah hidup itu layak dijalani atau tidak.
Namun bagi Camus menjawab absurditas dengan bunuh diri baik secara filosofis maupun fisik adalah sesuatu yang keliru. Membuat makna atau nilai terhadap kehidupan yang kita jalani menjadi jawaban. Inilah yang menjadi alasan eksistensialisme Camus, meskipun ia menolaknya.
Baca Juga: Albert Camus; Absurditas dan Pemberontakan
Absurdisme Ala Kierkegaard
Soren Kierkegaard disebut sebagai pendiri eksistensialisme dan seseorang yang berperan penting dalam filsafat abad ke-19. Kierkegaard juga menjadi salah satu filsuf yang membuat analisis tentang kehidupan dan pengalaman manusia yang mirip dengan Camus dan absurdisme, meskipun berhubungan dengan eksistensialisme.
Kedua pemikir ini memiliki kemiripan terhadap analisisnya. Misalnya pada pertanyaan kebahagiaan, Camus; “Kamu tidak akan pernah bahagia jika terus mencari apa itu kebahagiaan. Anda tidak akan pernah hidup jika Anda mencari makna hidup”.
Kierkegaard juga mengatakan hal yang mirip denga hal tersebut.
“Menikahlah, dan kamu akan menyesalinya; jangan menikah, kamu juga akan menyesalinya; menikah atau tidak menikah, kamu akan menyesalinya. Menertawakan kebodohan dunia, kamu akan menyesalinya; menangisinya, kamu akan menyesalinya juga; menertawakan kebodohan dunia atau menangisinya, kamu akan menyesali keduanya... Ini, Tuan-tuan, adalah inti dari semua filsafat”.
Selama ini kita mengenal gagasan perihal "Kita hanya menyesali apa yang tidak kita lakukan". Namun, seperti yang dituliskan oleh Kierkegaard, tidaklah bersifat demikian. Hidup kita cenderung agak paradoks dalam arti jika kita membuat pilihan seperti kuliah, kita akan memiliki rasa menyesal, mungkin karena beban kuliah yang berat.
Sebaliknya, jika kita tidak mengambil keputusan yang sama, hati dan pikiran kita sama-sama dipenuhi rasa penyesalan yang sama, meski alasannya akan sedikit berbeda. Ini membentuk komponen kunci dalam analisis Kierkegaard tentang sifat absurditas keberadaan manusia.
Baca Juga: Soren Kierkegaard dan Gangguan Kecemasan
Konsep kebahagiaan, penyesalan, dan kecemasan di sekitarnya yang sejalan dengan tempat kita di dunia memainkan peran penting dalam analisis Kierkegaard tentang absurd. Dalam bukunya, The Concept of Anxiety, ia menyebut kecemasan sebagai "the dizziness of freedom".
Kierkegaard mengidentifikasi dua komponen inti dari pengalaman manusia, menjadi yang terbatas dan yang tak terbatas. Maksud dari yang terbatas pada dasarnya adalah realitas pengalaman kita dibatasi oleh waktu. Kita hanya memiliki sejumlah waktu di bumi, dengan demikian hanya begitu banyak waktu untuk melakukan hal-hal tertentu.
Yang tak terbatas, di sisi lain, mencerminkan hal sebaliknya. Meskipun waktu kita di sini terbatas, kita dihadapkan pada fakta bahwa ada banyak kemungkinan yang tampaknya tak terbatas bagi kita selama waktu hidup kita yang singkat. Ada dialektika antara yang terbatas dan yang tak terbatas, dan ini dapat menciptakan banyak kecemasan bagi sebagian orang.
Ketika kita dihadapkan dengan kenyataan bahwa waktu kita yang terbatas, seringkali berdampak pada "jiwa" kita. Ironinya kekalutan ini membawa kabur kemungkinan tak terbatas kita yang pada akhirnya membuat kita tidak melakukan apa-apa.
Konsekuensi dari keputusasaan yang disebabkan oleh yang tak terbatas. kita berpotensi melakukan sesuatu berdasarkan arus norma sosial. Menjalani hidup tanpa membuat pilihan nyata apa pun dan hanya melakukan apa pun yang diharapkan orang lain bukan berdasarkan diri kita karena konsepsi yang terbatas.
Melalui Camus dan Kierkegaard menggambarkan realitas kehidupan manusia diambang dua pilihan yang memiliki sebuah konsekuensi. Dalam proses pencariannya kita dihadapkan pada situasi untuk memilihnya. Namun melalui eksistensialismenya, manusia dapat menjadi memilih pilihan berdasarkan kehendaknya. [Gita Fajriyani]
KOMENTAR