“Bangun, trem, empat jam di kantor atau pabrik, makan, trem, empat jam kerja, makan, tidur, dan Senin Selasa, Rabu, Kamis, Jumat dan Sabtu, menurut ritme yang sama” (Mitos Sisyphus).
Seperti yang kita lakukan setiap hari, mengisi agenda harian dengan kegiatan yang sama dari larut hingga petang. Mulai dari bangun, sarapan, pergi bekerja atau sekolah, pulang, makan, tidur dan begitu seterusnya. Layaknya komedi putar.
Gaya hidup seperti itu nampaknya dilakukan oleh kebanyakan orang hampir sepanjang waktu. Melakukan rutinitas yang sama setiap hari. Anehnya, kita merasakan hal tersebut sebagai sebuah kewajaran tanpa ada pertanyaan, meskipun yang dilakukan terasa membosankan dan melelahkan.
Namun saat kita mulai meresahkan rutinitas sehari-hari, nampaknya akan membangunkan kita dari kenyamanan. Seperti merasa terasing dari orang lain, menyadari waktu berjalan begitu cepat, hingga membayangkan kematian di masa depan.
Rasa cemas dan ketidakpuasan yang timbul, membuat kita mempertanyakan makna dan tujuan hidup serta memahami keberadaan manusia di dunia. Bagaimana caranya bersatu dengan kehidupan untuk memperbaiki rasa keterasingan dari alam semesta.
Usaha pencarian makna dan tujuan hidup kita terbatas pada bukti empiris, sehinggal hal spiritual sukar dipastikan. Seperti kisah Tantalus yang dikutuk selamanya untuk berdiri digenangan air di bawah pohon menjuntai, namun selalu gagal setiap kali mencobanya.
Selain itu, hidup yang disebut Camus sebagai zaman kematian Tuhan, sulit untuk mempercayai landasan metafisika yang dianggap tidak mampu memberikan makna transenden. Berbeda dengan orang zaman dahulu yang menyandarkan hidupnya pada mitos, kepercayaan, agama, ideologi dan filsafat karena dinilai memberikan makna hidup.
Menghadapi keterasingan ini, Camus menawarkan dua cara yang ditulisnya dalam the Myth of Sisyhpus, yakni bunuh diri fisik dan bunuh diri filosofis.
Melakukan bunuh diri fisik artinya menyadari jika hidup memang tidak berarti. Pilihan selanjutnya, lari dari keresahan absurdnya hidup dengan bunuh diri filosofis. Menaruh keyakinan dan harapan yang ditawarkan ideologi, agama dan mitos. Meski tidak ada bukti yang meyakinkan adanya keberadaan di dunia luar ini.
Bunuh diri bukanlah jalan akhir. Bunuh diri menandakan kita gagal memahami bahwa mempertahankan absurditas hidup tanpa memilih kematian menjadi pencapaian kesadaran tertinggi. Tetapi, perlu mengakui ke-absurd-an hidup dengan memberi makna pada diri sendiri dan melakukan pemberontakan. Berarti mengatakan 'Tidak' pada eksistensi absurd seseorang.
Pemberontakan tidak selalu dimaknai oleh sesuatu yang baik dan konstruktif. Ada yang merusak dan bersifat nihilistik. Membenarkan penghancuran dan pembunuhan pada kehidupan yang absurd. Tidak adanya nilai moral maka semuanya diperbolehkan. Sebagimana Camus hidup di tengah genosida terburuk dari semua rezim totaliter abad 20. Mempercayai hal tersebut sebagai pemberontakan melawan absurditas.
Pemberontakan nihilistik ini, berusaha mencapai hal yang tidak mungkin dengan sepenuhnya menghapus absurditas keberadaan manusia. Kemudian menerapkan utopia yang menyebabkan kehancuran dan penderitaan di dunia atas nama ilusi.
Sementara Camus memperjuangkan pemberontakan yang mengakui moralitas dan solidaritas, kebebasan individu dan harmoni antar manusia. Nilai seperti itu dapat dicapai melalui pengakuan bahwa hidup manusia itu absurd. Artinya, tunduk pada takdir tragis dan protes terhadap kondisi yang menyatukan dan mengikat kita pada solidaritas.
Pasalnya pemberontakan yang sesungguhnya tidak mengimplementasikan utopia dengan cara yang merusak. Tetapi mengakui hak dan martabat orang lain serta berupaya menerapkan persatuan antar individu. Dipersatukan oleh perjuangan bersama dalam kondisi yang absurd.
Saat ini kebebasan di berbagai bidang semakin berkurang. Pemerintah di seluruh dunia sedang meyakinkan orang untuk mengorbankan kebebasan pribadi demi janji keharmonisan dan keamanan di masa depan. Bagi yang menolak untuk mengikuti garis ini, tetapi lebih memilih kebebasan.
"Satu-satunya cara untuk menghadapi dunia yang tidak bebas", tulisnya, "adalah menjadi sangat bebas sehingga keberadaan Anda sendiri merupakan tindakan pemberontakan" ( The Rebel: An Essay on Man in Revolt ).
[Gita]
KOMENTAR