Saat ini, penyakit psikologis; gangguan kecemasan lazim dialami. Kebanyakan orang, mengartikan gangguan kecemasan sebagai keadaan emosional yang tidak menawarkan nilai positif. Setelahnya, orang-orang mereduksi gangguan tersebut dengan aktivitas panik, histeria, atau ramuan obat dan rekreasional.
Sementara para ahli yang fokus di bidang perihal emosi menyadari, bahwa bagaimana pun emosi dalam kehidupan manusia memainkan peran yang tak sedikit. Bahkan, dalam buku Pengantar Umum Psikoanalisis, Sigmund Freud menggambarkan layaknya titik simpul. Di sana memunculkan beragam pertanyaan penting yang saling bertemu satu dengan lainnya. Sehingga teka-teki terjawabkan, dan menghadirkan cahaya dalam remangnya sebuah mental.
Filsuf asal Denmark, Soren Kierkegaard berpendapat bahwa untuk memahami apa itu kecemasan perlu adanya pembanding, yaitu ketakutan. Keduanya sama-sama respon emosional terhadap suatu fenomena, yang membedakan hanyalah pemicunya. Menurut Soren, rasa takut datang dipengaruhi adanya rangsangan dari suatu yang nyata, entah di suatu tempat atau situasi lain. Sedang rasa cemas, muncul namun tidak diketahui ancaman tersebut datang dari mana.
Sementara itu sumber ketakutan dapat dialokasikan, tapi tidak dengan kecemasan. Psikolog Amerika Rollo May menjelaskan, rasa cemas sifatnya lebih membabi buta, dan secara sekaligus datang dari mana saja. Hasilnya, ketakutan membuat panca indera seseorang semakin tajam. Boleh dikatakan, ia senantiasa bersiap diri untuk lari atau melawan.
Berbeda dengan kecemasan yang penyebabnya tidak diketahui, ia akan membuat indera seseorang itu lumpuh, memperlambat tindakan, serta tidak sadar atau mendadak bingung terkait bagaimana membuat diri kita lepas dari ketidaknyamanan. Karena kacaunya kesadaran diri dalam mengenali suatu hal, bisa-bisa kecemasan parah menjelma sebagai pengalaman pahit. Meski seperti itu, di ranah kecemasan yang parah orang-orang terhindar darinya.
Namun hanya sedikit yang sanggup lari dari kejaran kecemasan ringan. Lantaran sebagai pembeda antara yang tidak dan yang parah atas suatu kecemasan, secara umum lebih dikenal dengan sebutan 'angst' atau kecemasan eksistensial.
Menurut Soren manusia merupakan perpaduan binatang dan melaikat yang terbiasa memasuki dimensi cemas. Dengan kata lain, semakin besar kecemasan, semakin besar pula manusia tersebut. Dalam buku The Concept of Anxiety, ia mengatakan dengan lahirnya kesadaran diri dapat mendeteksi kecemasan eksistensial berasal. Dalam perkembangan anak misalnya, yang namanya aktualisasi potensi (skill) sangatlah penting.
Representasi perkembangan pikiran manusia, terbangun oleh kesadaran diri. Dalam mitologi Adam dan Hawa misalnya, memakan buah pengetahuan terlarang dan sadar tidak hanya kebaikan atau kejahatan, namun juga kemungkinan kebebasan. Berangkat dari berbagai macam kemungkinan yang tak terjangkau, membuat setiap proses yang terjadi membukakan pintu kemungkinan pada labirin ketidaktahuan.
Pemahaman terkait kebebasan dalam menghadapi kemungkinan, atau kapabilitas untuk melompat, bisa diartikan sebagai kunci kendali atas sebuah takdir. Sedang situasi demikian serasa ambivalen. Karena selain tertarik oleh kekuatan, tuntutan dan kebingungan yang dihadapi malah menolaknya. Sehingga perasaan canggung dan menyangkal eksistensi mulai menyelimuti.
Di dalamnya, seakan-akan dunia dan situasi tersimpul sampai menghindari suatu perubahan. Lebih dalam, kemungkinan kecemasan menurun namun harus mengorbankan perkembangan diri. Kemudian, sisi open minded diperlukan dalam hidup untuk bergerak maju, dan ini membutuhkan pengalaman tentang pengendalian kecemasan.
Apabila dalam hidup, kecemasan dan mengambil tindakan tidak berdampingan, yang terjadi adalah kemustahilan memanajemen risiko. Bahkan Soren juga mengutarakan, bahwa belajar untuk mengetahui kecemasan harus dilalui lewat petualangan yang dihina setiap orang. Oleh karena itu, dia yang telah belajar dengan benar untuk berada dalam kecemasan telah mempelajari hal yang paling penting.
Lain halnya jika melarikan diri dari kebebasan dan kecemasan, dengan kata lain menyerah pada keputusasaan. Apabila kehidupan tanpa kedua hal itu serasa hampa, mandul, stagnan, dan sulit membebaskan dari masa depan. Hanya karena kemungkinan dan kebebasan serta adanya kecemasan, seyogyanya mengindahkan Soren belajar menjadi cemas dan belajar cemas dengan cara yang benar.
Tidak hanya sampai di situ, psikolog James Hollis sempat dihadapkan dua pilihan sulit. Ia diharuskan memilih, antara cemas atau depresi. Apabila maju, senada dengan ketegasan jiwa, mungkin dibanjiri kecemasan. Namun, jika tak bergerak maju depresi akan melanda sekaligus mengalami tekanan dalam jiwa. Menurut Hollis, kita harus memilih cemas. Karena dalam bukunya Swamplands of the Soul, kecemasan berarti pertumbuhan dan depresi adalah kelalahan hidup.
[Agung Pray]
KOMENTAR