SAAT berdialog dengan Aristoteles dalam mimpi, di situ terdapat isyarat yang melatarbelakangi Al-Makmun untuk melakukan revolusi intelektual dalam dunia Islam. Sebagaimana kita tahu pada masanya, Islam mulai bangkit dan mengukir sejarah. Hingga perkembangan khazanah ilmu pengetahuan pada periode Dinasti Abbasiyah berhasil membawa Islam berada dalam puncak keemasan (The Golden Age).
Kita mengenal Al-Makmun sebagai seorang khalifah ke delapan Dinasti Abbasiyah yang memiliki kepedulian dan perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan. Sementara Aristoteles ialah seorang filsuf, yang karya dan pemikirannya menjadi inspirasi yang memantik gairah para intelektual Islam untuk belajar dan mengembangkan filsafat dan ilmu pengetahuan tradisi Yunani Kuno.
Ibn Nadim melukiskan proses dialog antara khalifah Al-Makmun dengan Aristoteles dalam kitab Al-Fihrasat. Pada suatu malam, sang khalifah tengah bermimpi. Di samping kamar tidurnya, ia duduk berhadap-hadapan dengan sopan bersama seseorang. Pria itu berkulit putih, berwajah kemerah-merahan, dahinya lebar, alisnya menyambung tebal, serta perangainya ramah.
Pria asing berkepala setengah gundul itu mengejutkan Al-Makmun. Sang khalifah pun bertanya, "Siapa, Anda?"
"Aku Aristo (Aristoteles)," jawab orang itu.
Mendengar nama itu, Al-Makmun senang. "Bolehkah aku bertanya sesuatu?" ujarnya.
Sang filsuf menjawab, "Silakan."
"Apakah itu kebaikan?"
"Kebaikan adalah apa yang dipandang baik menurut akal pikiran.”
Belum cukup mendengar jawaban itu, sang khalifah pun bertanya lagi. "Lalu apa lagi?"
"Kebaikan itu apa yang dipandang baik dalam hukum agama,” jawab sang filsuf.
"Lalu, apa lagi?"
“Kebaikan itu apa yang dipandang baik untuk masyarakat,”
“Lalu apa lagi?” tanya Al-Makmun.
"Lagi?" tanya balik Aristoteles. "Itu saja, tidak ada lagi dan tidak ada lagi."
Dialog sang khalifah dan sang filsuf tidak berakhir di situ. Menurut suatu riwayat, masih ada bagian dialog yang jarang disebut.
Al-Makmun berkata, "Beritahu aku lagi sesuatu."
Lalu Aristoteles menjawab, "Siapapun yang memberi nasehat Anda tentang emas, ambillah ia sebagai emas. Tapi bagi Anda yang penting ialah tauhid (keesaan Tuhan).”
Begitulah dialog imajiner antara Al-Makmun dengan Aristoteles. Boleh jadi mimpi hanyalah kegelisahan jiwa. Namun dapat juga berarti isyarat dan petunjuk dari langit.
Menurut Imam Al-Ghazali, mimpi ialah penghubung antara a lam al-mulk dengan a lam al-malakut. Apabila mimpi Khalifah Al-Makmun termasuk jenis ini, maka tabir dalam dialognya dengan Artistoteles dapat dijelaskan. Bahkan Ibn Sirin, al-Nablisi dan penafsir mimpi lainnya menyatakan bahwa mimpi dapat di-ta’wilkan secara ilmiah.
Lalu bagaimana kelanjutan dari pertemuan Al-Makmun setelah berdialog dengan Aristoteles dalam mimpi?
Syahdan, setelah dialog filosofis itu, khalifah segera mengumpulkan para ilmuwan, intelektual, serta ahli bahasa. Lalu Al-Makmun memulai proyek penerjemahan karya-karya Aristoteles dan para filsuf Yunani lainnya, terutama Plato dan Plotinus. Tidak hanya peradaban Yunani, tetapi juga penerjemahan karya-karya Persia, Sansksekerta kuno, dan lain-lain ke dalam bahasa Arab.
Pada intinya, Islam di bawah kepemimpinan Al-Makmun mengalami perkembangan luar biasa dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan. Apalagi saat itu Baitul Hikmah, perpustakaan dan laboratorium yang menjadi pusat aktivitas intelektual dikembangkan secara luas.
Hingga akhirnya pada masa Dinasti Abbasiyah inilah Islam menjadi pusat ilmu pengetahuan dan peradaban dunia. Tokoh-tokoh besar lahir di masa ini, antara lain Al-Kindi, Al-Khawarizm, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan masih banyak lagi. Bahkan karya dan pemikiran para intelektual muslim menjadi rujukan dan memiliki pengaruh besar di dunia Barat, yang boleh dikatakan secara tidak langsung berkontribusi bagi kemunculan Renaissance.
Dari mimpi Al-Makmun yang berdialog dengan Aristoteles tersebut, tersirat pelajaran bahwa di balik kemajuan peradaban yang selalu digaungkan umat Islam sekarang ini, terjadi pertemuan dan alkulturasi budaya. Seperti penerjemahan karya-karya asing ke dalam bahasa Arab demi menambah khazanah ilmu pengetahuan.
Poin penting dari kisah ini ialah kemajuan suatu peradaban tidak dapat diraih jika masyarakatnya menutup diri. Melainkan kemajuan akan tercipta dari keterbukaan dengan diskursus kebudayaan lain, sehingga menimbulkan proses interaksi yang terus berkembang secara evolusioner maupun revolusioner. [Riska Apriliza]
KOMENTAR