Gambar: Istimewa |
PULUHAN gedung dengan gaya arsitektur khas Eropa yang dibangun pada masa kolonial yang hingga saat ini masih berdiri kokoh di pusat Kota Lumpia, barangkali kini menjelma ikon lain yang tidak lagi bermakna selain sebagai objek foto dan wisata. Begitu pasrah dan statis. Desain tata kota yang mendapatkan legitimasi sebagai peninggalan sejarah dan kebudayaan dunia ini seolah beralih identitas menjadi ikon kesombongan, narsisme, eksistensi, dan pencitraan.
Dalam satu sisi ia mendesak kita menuju situasi keprihatinan dan kepekaan, akan sejarah yang hanya berupa fragmen kisah, tentang gemerlap kota tanpa final petanda, serta melaju sebagai modernitas yang tidak kenal batas. Kota Lama Semarang, pada suatu hari di minggu terakhir tahun lalu, ketika di sini, saya menyaksikan orang-orang yang tengah antusias sekaligus cemas. Dan sebuah kehidupan terasa semacam opera yang menjemukan.
Sekitar 50 bangunan kuno yang pernah menjadi saksi bisu sebuah bangsa yang berusaha membebaskan dirinya dari cengkeraman bangsa lain, kini agaknya berhenti pada sebuah citra. Imaji yang gagal menampilkan lintasan sejarah dan pelajaran berharga kepada para pengunjungnya. Yang hadir di sini ialah wajah penat dipenuhi kecemasan yang tidak termanifestasikan dalam foto-foto yang ditunjukkan. Hal ini menandai pola baru yang menyiratkan gaya hidup masyarakat kota yang dimabuk modernisasi.
Sebagai misal pada sebuah gedung berlantai dua dengan dinding setebal 20 cm yang didominasi warna merah tua, selalu memikat perhatian mata pengunjung. Gedung bertuliskan “Marba” yang dibangun pada paruh abad ke-19 tampak begitu eksotis dan elegan. Karakter visual dari salah satu cagar budaya Indonesia tersebut seringkali dijadikan latar belakang demi eksistensi dan popularitas maya melalui potret digital. Menunjukkan bahwa ia dikenang sebagai gambar kosong dengan nilai sejarah yang tidak begitu penting lagi.
Baca Juga: Misteri di Balik Keindahan Arsitektur Lawang Sewu Semarang
Di sini pun, saya telah larut dalam sebuah entitas multikultur, identitas dan kebudayaan yang menyatu dan membaur. Berbagai kelas sosial masyarakat dengan latar belakangnya masing-masing menempati dan turut meramaikan kehidupan di kawasan Kota Lama ini. Ada pengemis, tukang parkir, pedagang kaki lima, fotografer, wartawan, pengunjung, dan lain-lain. Mereka saling bertemu tetapi sama-sama menjadi tamu.
Seandainya saja Chairil Anwar masih hidup dan menghentikan kaki di sana, ia pasti akan menepi dari keramaian. Mencari tempat duduk lesehan di suatu sudut, mengamati aktivitas orang-orang, serta menulis sebuah puisi. Sebagaimana yang pernah ia tulis untuk melukiskan modernitas kota pasca revolusi kemerdekaan, di tahun 1948:
KOMENTAR