Gambar: komunitaskretek.or.id |
Umur 20 tahun ia menghadapi kenyaaan pahit. Oktober 1942, malaikat maut begitu kejam merenggut nyawa nenek tercinta. Chairil murung. Berhari-hari ia dirundung kesedihan.
Neneknya, Mak Tupin memang menjadi sosok penting di mata Chairil. Dia tulus merawat Chairil waktu masih kecil. Tidak hanya itu, saat orang tua sedang bertikai, Mak Tupin-lah yang menjadi penengah dan menyejukkan kembali kondisi keluarga. Maka wajar jika dia merasa terpukul dengan kepergian Mak Tupin.
Perihal kematian sang nenek, Chairil meluapkan segala perasaannya ke dalam bentuk frasa. Hingga terciptalah puisi “Nisan”, sebagai gambaran suasana batin Chairil setelah kehilangan sang nenek. Terlepas dari itu, “Nisan” menjadi puisi pertama yang mengawali karirnya sebagai penyair:
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta
Begitu dalam seorang Chairil meresapi makna kematian. Padahal saat itu dia masih terbilang muda, namun kepedihan sudah melekat dalam dirinya. Kepergian neneknya menambah cambukan bagi Chairil. Sebelumya, orang tuanya telah bercerai. Chairil ikut ibunya dan pindah dari Medan ke Batavia pada tahun 1942.
Penuh Vitalitas
Saya belum mampu seperti Arif Budiman yang bisa menghayati secara mendalam puisi-puisi Chairil dengan penuh kesadaran. Sehingga ia berhasil menyelami kehidupan Chairil dan menghasilkan buku Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan. Barangkali ini masalah keterbatasan wawasan kesusasteraan saya. Tetapi lewat buku Aku karya Sumandjaya, Ini Kali Tidak Ada yang Mencari Cinta karya Sirgus Susanto, serta referensi lain tentang biografi Chairil, saya tahu bahwa hidup Chairil penuh dengan penderitaan dan kesengsaraan.
Setelah kepergian nenek, hidupnya tak tentu arah. Hari-hari yang dijalani amat semrawut. Ia semakin bohemian: mencuri buku-buku di toko, datang ke tempat-tempat pelacuran, serta mabuk dan menggelandang di jalanan. Bahkan ia sendiri mengakui keliarannya dalam puisi “Aku”:
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya yang terbuang
Meski demikian, ia mempunyai vitalitas yang tinggi sebagai seorang penyair. Ia berbeda jalan dengan para pendahulunya seperti Amir Hamzah, Sultan Takdir, Armine pane, serta sastrawan Pujangga Baru lainnya yang dikendalikan Jepang. Saat menduduki Indonesia, Jepang mendirikan pusat kebudayaan dan mengendalikan para seniman untuk mendukung Perang Dunia II.
Chairil mengecam keras tindakan Pujangga Baru. Dalam esai “Hoppla”, ia berani mengatakan bahwa Pujangga Baru tidak memberikan perubahan apa-apa dan masih setengah-setengah dalam menciptakan karya seni.
Tindakan Chairil ini mendapatkan perlawanan balik. Ia pernah ditangkap oleh ospir Jepang. Tidak hanya itu, karya-karya dan keberadaannya juga tidak dihargai para sastrawan Pujangga Baru. Chairil sakit hati. Namun ia terus berjalan memperjuangkan ide-idenya dengan semangat:
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang dan menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih dan peri
Memilih ‘Menderita’
Chairil menjalani hari-hari dengan penuh kesunyian. Ia merasa asing dengan kehidupan sekitarnya. Ia mempunyai idealisme sendiri: kebebasan dan tidak mau berada di bawah kendali orang lain. Inilah jalan hidup “Tak Sepadan” yang ia pilih, dan ia siap menerima segala konsekuensinya.
Aku mengembara serupa Ahasveros
Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka
Ahasveros adalah seorang Yahudi dalam cerita Injil yang menolak Yesus datang ke rumahnya. Oleh Tuhan kemudian orang ini dikutuk untuk menjadi pengembara abadi, tidak pernah punya tempat tinggal seumur hidupnya. Chairil menganggap dirinya bernasib sama dengan Ahasveros. Hdupnya tak tentu arah. Tetapi inilah jalan yang menurutnya harus diperjuangkan.
Pernah ia bekerja sebagai editor suatu majalah bersama H.B. Jassin. Karena bekerja untuk lembaga, maka mau tidak mau ia harus mematuhi kebijakan yang berlaku. Chairil harus bangun pagi-pagi, memakai pakaian rapi, berangkat ke kantor redaksi, dan bekerja di bawah tekanan deadline.
Pekerjaan itu ia lakukan agar bisa mendapatkan pundi-pundi rupiah untuk menghidupi istri dan anaknya. Kerena hasil uang dari honor pusi tidak akan cukup membiayai hidupnya. Mengingat, kata Goenawan Mohamad, penyair adalah pekerjaan yang tidak jelas, tidak seperti dokter, guru, atau wartawan.
Namun menjadi seorang editor tidak nyaman baginya. Itu bukanlah Chairil. Chairil sesungguhnya adalah seorang bohemian yang liar, bebas, tidak bisa dikekang, dan menabrak tatanan yang ada.
Sebagaimana kata Sartre, “Manusia dihukum untuk merdeka”. Maka ia memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan itu. Ia kembali ke kehidupan lama meskipun dalam keadaan kere.
Inilah pilihan Chairil. Chairil kembali melakukan rutinitas di luar menyair –membaca, berdiskusi, menulis, dan menerjemahkan-- yang barangkali bisa dikatakan ‘negatif’. Ia datang ke tempat pelacuran, minum alkohol di jalanan, mengunjungi rumah teman-teman sesama seniman, berjalan tak tahu arah tujuan, serta menyendiri dari keramaian.
Ia lebih memilih ‘menderita’ sebagaimana adanya. Ia rela menanggung risiko dari keputusannya itu. Saya meminjam ungkapan Arif Budiman dalam buku Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan, “Ini artinya kesunyian. Ini artinya kesepian. Ini artinya penderitaan.”
Pasrah dengan Nasib
Apakah Chairil bahagia dengan cara hidup yang seperti ini? Entah! saya tidak tahu. Kebahagiaan itu relatif. Seseorang mempunyai letak kebahagiaannya masing-masing. Misalkan saya Chairil, saya sendiri akan sulit memaknai kebahagiaan. Saya tidak bisa bertanya seperti Goenawan Mohamad dalam pusi “Dingin Tak Tercatat”:
Tuhan, kenapa kita bisa
bahagia?
Barangkali inilah nasib hidup Chairil Anwar. Tuhan telah menakdirkannya. Ia tampaknya menerima semua ini dengan lapang dada. Sebagaimana dia pernah menulis:
Bukan maksudku mau berbagi nasib
Nasib adalah kesunyian masing-masing
Kendati demikian, dengan jalan hidup ‘yang tidak jelas’, saya menduga bahwa semua itu ia lakukan untuk mencai tahu makna kehidupan dengan menghidupkan puisi. Kecintaannya terhadap seni dan sastra barangkali membuatnya menjadi seperti ini, agar bisa menyelami dan mendalami kondisi sosial yang tercermin dalam karyanya.
Setelah berhenti menjadi editor, pendapatan Chairil tidak cukup banyak. Bahkan ia kesulitan dalam menghidupi keluarganya. Kondisi itu tentu membuat istrinya, Hapsah, berpikir-pikir untuk mempertahankan lelaki itu. Maka Chairil menyetujui permintaan Hapsah untuk “Bercerai”. Dia pun menerima dengan lapang dada:
Kita musti bercerai
Biar surya ‘kan menembus oleh malam di perisai
Dua benua bakal bentur-membentur
Merah kesumba jadi putih kapur
Selanjutnya Chairil mengucapkan “Selamat Tinggal” kepada Hapsah dan anaknya, Evawani:
Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal
Selamat tinggal
Mendekati Ajal
Setelah bercerai, kehidupan Chairil tambah semrawut. Sejumlah penyakit menggerogoti tubuhnya. Kondisi fisiknya pun semakin melemah. Ia tampak lebih menderita dari sebelum-sebelumnya.
Dalam keadaan ini, Chairil tersadar bahwa ia harus mendekat kepada Tuhan. Bagaimana pun juga, ia tetap mengakui bahwa Tuhan adalah pencipta segalanya. Ia lemah, tak berdaya, dan ingin mengadu kepada Tuhan. Tak henti-hentinya ia melantunkan “Doa”:
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
Setelah ‘mendekati’ Tuhan, Chairil ingin masuk ke dalam “Sorga”. Tetapi ia sadar bahwa untuk menggapainya tidaklah mudah.
aku minta pula supaya sampai di sorga
yang kata Masyumi-Muhamadiyah
bersungai susu
dan bertabur bidari beribu
Tapi ada suara menimbang dalam diriku
nekat mencemooh : Bisakah kiranya
berkering dari kuyup laut biru
gamitan dari tiap pelabuhan gimana?
Situasi tersebut tampaknya menjadi tanda-tanda bahwa Chairil Anwar tidak akan hidup lama lagi. Saya pernah mendengar guru saya berkata, “Seseorang yang tiba-tiba mendekat ke Tuhan, kemungkinan pula ia semakin mendekati ajalnya”. Dalam hal ini memang banyak peristiwa yang terjadi di masyarakat. Misalnya orang mendadak alim dan rajin beribadah. Tahu-tahu, beberapa hari kemudian orang itu meninggal dunia.
Tampaknya Chairil juga demikian. Apalagi, ia sering sakit-sakitan, kondisi tubuhnya semakin melemah. Wajahnya pucat dan ia sering mual-mual. Untuk bangun dari tempat tidur saja ia kesulitan.
Sakit yang menggerogoti tubuh Chairil tidak kunjung hilang. Bahkan semakin parah seiring bertambahnya waktu. Virus menyebar ke mana-mana. Tetapi ia tidak punya banyak uang untuk membeli obat.
Meramal Kematian
Chairil tidak punya apa-apa. Hidupnya hanya menumpang di rumah teman. Untung teman senimannya mau menerima Chairil dan bersedia merawatnya saat sakit.
Penyair bohemian itu tampaknya sudah menyadari akan datangnya kematian. Dia sebenarnya punya vitalitas tinggi, namun takdir tidak bisa ditolak, bukan? Begitulah nasib yang mungkin ia harus terima, begitu kejam tanpa memandang waktu.
Malam yang berwangi mimpi, berlucur debu
Waktu jalan, aku tidak tahu apa nasib waktu
Chairil yang dalam hidupnya tidak pernah mau mengalah, sepertinya saat ini harus mengalah dengan nasib. Ia hampir mencapai titik terakhirnya. Namun sebelum itu, ia berhasil menulis dua puisi terakhir. Keduanya sama-sama berbicara tentang kematian.
Pertama, puisi “Yang Terampas dan Yang Putus”. Dalam puisi ini, Chairil seolah meramal kematiannya sendiri. Ia bahkan sudah berpesan jika nanti akan dimakamkan di Karet, (daerahku y.a.d), Jakarta Pusat.
di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru angin
aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku
Sejumlah kritukus menafsirkan y.a.d adalah yang akan datang. Maksudnya, Chairil akan pindah dari dunia ini ke dunia yang lain. Selain itu, dalam puisi ini, Chairil menyatakan bahwa dirinya harus berbenah, berkemas, untuk pergi meninggalkan tempatnya saat ini. Ia melepaskan segala kenangan.
Cerita yang pernah ia jalani akan berlalu dan tidak bisa ia bawa pergi. Ia benar-benar telah kalah dan menyerah terhadap nasib. Ia tidak kuat menghadapi serangan berbagai penyakit seperti TBC, tifus, gangguan usus kronis. Puisi terakhirnya, "Derai-derai Cemara” menjadi tanda bahwa hidup telah berhasil mengalahkannya.
Hidup hanya menunda kekalahan
Tambah terasing dari cinta sekolah rendah
Dan tahu, ada yang tak sempat diucapkan
Sebelum akhirnya kita menyerah
Ketika menulis puisi itu, Chairil tampaknya sudah mengerti kalau takdir akan segera menjemput. Penyair itu seolah bisa menentukan kisah hidupnya sendiri. Seperti kata Agus Noor dalam puisi “Aku Masih Punya Puisi”:
Penyair tak hanya menulis puisi,
ia menulis takdirnya sendiri
Dan ramalan Chairil ternyata benar. Tepat 28 April 1949 ia menutup mata untuk selamanya dan dimakamkan di Karet Bivak, Jakarta Pusat, sesuai permintaannya.
Sayang sekali, padahal waktu itu ia berada di puncak karir. Ia menjadi pembaharu bahasa dan sastra Indonesia. Rendra mengatakan bahwa karya-karya Chairil telah mampu menginspirasi para sastrawan sezaman dan sesudahnya. Paus Sastra Indonesia, H.B. Jassin, melabelinya sebagai pelopor Angkatan '45 yang telah berhasil meruntuhkan istana Pujangga Baru.
Ada satu hal yang membuat saya prihatin –boleh jadi Anda semua belum tahu. Bahwa Chairil meninggal dunia di usia yang terbilang masih muda, yaitu umur 27 tahun. Barangkali inilah yang membuat namanya besar. Di usia muda, Chairil sudah memberikan pengaruh besar bagi bangsa ini, terkhusus dalam bidang bahasa dan sastra. Nama Chairil Anwar terdaftar dalam buku 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia yang diterbitkan oleh Penerbit Narasi Yogyakarta tahun 2006.
Tetapi sayang, Chairil tidak mampu mewujudkan ambisinya untuk hidup seribu tahun lagi. Seperti yang pernah ia tulis, dua larik terakhir dalam puisi “Aku”:
Tetapi sayang, Chairil tidak mampu mewujudkan ambisinya untuk hidup seribu tahun lagi. Seperti yang pernah ia tulis, dua larik terakhir dalam puisi “Aku”:
Dan aku akan lebih tak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Meskipun Chairil gagal hidup seribu tahun lagi, tetapi jasanya tak pernah terlupakan. Jiwa dan semangatnya akan terus hidup abadi lewat karya-karyanya yang masih dapat kita nikmati sampai saat ini, bahkan lebih dari seribu tahun lagi.
[Mahfud]
KOMENTAR