Hari ini kita kembali membaca puisi-puisinya yang banyak bertebaran di beranda media sosial. Kembali melihat potretnya yang tampak garang ketika menghisap sebatang rokok. Bangsa ini mungkin bangga memiliki dan mengenangnya, namun tidak banyak dari kita yang tahu bahwa di hari ini, 72 tahun lalu, ia meninggal dunia di usia 26 tahun dengan kondisi memprihatinkan.
Sebelum ajalnya tiba, ia mengalami sakit-sakitan berhari-hari. Karena tidak punya tempat tinggal, ia menumpang dan dirawat di rumah salah seorang kawannnya. Tubuhnya terbaring lemas menahan rasa sakit. Mulutnya menceracau mengucapkan apa saja, sering juga ia batuk-batuk dan muntah-muntah.
Sebenarnya sudah sejak lama ia menderita sejumlah penyakit, seperti tifus, TBC, dan infeksi paru-paru. Sayangnya ia tidak punya cukup uang untuk pergi berobat, sehingga penyakitnya itu menyebabkan kondisi fisiknya semakin lemah dan tidak dapat lagi menolak kedatangan maut.
Namun siapa sangka di hari kematian yang menggetarkan itu, kini kita peringati sebagai Hari Puisi Nasional. Chairil Anwar adalah fragmen sejarah Indonesia yang akan selalu kita kenang, karena karya-karyanya menjadi identitas kesusasteraan kita sampai hari ini.
Baca Juga: Ramalan ‘Kematian’ Chairil Anwar
Banyak para kritikus, peneliti, akademisi yang mengulasnya. Chairil adalah penyair yang penuh vitalitas dan kobar api yang membara. Ia memiliki idealisme dan prinsip yang dipegang teguh. Tidak mau diatur dan dikendalikan orang lain, bebas menentukan pilihan sendiri, memberontak kepada kemapanan, dan memperjuangkan cita-citanya mati-matian.
Sumandjaya dalam bukunya Aku, menuliskan sikap pemberontakan Chairil dengan cukup dramatik. Pada suatu hari di tahun 1943, ia mendatangi kantor Pusat Kebudayaan yang saat itu ada perkumpulan para sastrawan Pujangga Baru. Dalam kesempatan itu, seseorang bernama Sri membacakan sebuah puisi. Begitu selesai dibacakan, terdengar suara tawa seorang bohemian dari arah pintu masuk.
Semua yang hadir di situ terjejut dan pandangannya mengarah kepada Chairil. Dengan petontang-penenteng, ia masuk ruangan dan langsung maju ke depan. Ia mengomentari puisi yang dibacakan Sri, “Sajakmu cukup romantis. Tapi bukan itu yang semangat. Kalau mau semangat, ini!” katanya, kemudian mengambil kapur dan mulai menggoreskannya di papan tulis.
Baca Juga: Chairil Anwar Adalah Api dan Gus Dur Sang Pembawa Obor
Aku!
Ku mau tak seorang 'kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu!
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Aku tetap meradang menerjang
Berlari
Aku mau hidup seribu tahun lagi
KOMENTAR