Dok. Canva |
Pada tanggal 23 April, masyarakat di berbagai belahan dunia memperingatinya sebagai Hari Buku Internasional. Pada tanggal ini di tahun 1616, beberapa penulis besar seperti Cervantes, Shakespeare dan Inca Garcilaso de la Vega meninggal dunia. Selain itu, tanggal ini juga menjadi tanggal kelahiran penulis terkemuka lainnya, seperti Maurice Druon, Haldor K. Laxness, Vladimir Nabokov, Josep Pla dan Manuel MejÃa Vallejo.
Atas faktor ini, UNESCO menetapkan hari tersebut sebagai Hari Buku Sedunia dan Hari Hak Cipta Sedunia. Hari buku diperingati untuk menghormati peran dan kontribusi para penulis yang telah berusaha meningkatkan kemajuan peradaban manusia melalui buku. Buku diyakini sebagai sumber utama pengetahuan, menjadi jendela untuk mengenal dunia yang mampu melintasi khazanah dan kebudayaan dari berbagai bangsa.
Peringatan ini selayaknya menggugah masyarakat untuk mendukung seorang penulis dalam prosesnya menciptakan karya. Di mana salah satu bentuknya yakni melindungi hak cipta penulis demi mengapresiasi karyanya. Pasalnya dalam prosesnya pastinya penulis menempuh jalan panjang, dan karya yang tercipta menjadi tanda dan saksi dari suatu masa.
Hak Cipta menjadi kekayaan intelektual, baik di bidang ilmu pengetahuan, seni, ataupun sastra yang salah satu tujuannya mendukung pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan. Di mana hak cipta ini memiliki fungsi eksklusif dalam suatu karya, yang mampu mendorong seseorang untuk menghasilkan karya baru lagi. Hak Cipta ini juga digunakan untuk membungkus kepemilikan dari seseorang, menjadi legitimasi sekaligus penghargaan dan pengakuan jika karya tersebut memang hasil pemikiran orisinil seseorang.
Bahkan sebagai dukungan atas kepemilikan pribadi, pemerintah melalui Undang-undang Nomor 28 tahun 2014 mengatur tentang Hak Cipta. Di mana secara legal pemerintah menegakkan payung hukum untuk menjaga orisinalitas karya seseorang. Sekaligus hal ini mendorong seseorang untuk terus berproses secara kreatif. Pasalnya kedua hal ini sudah dilindungi dan didukung oleh penegak hukum.
Meskipun sudah diatur oleh pemerintah, pembajakan terhadap produk intelektual masih menjadi masalah serius. Jika melihat industri perbukuan, banyak beredar buku-buku bajakan atau ilegal di kalangan masyarakat. Kondisi ini menunjukkan bahwa nilai sakral dalam sebuah karya yang dilindungi hak ciptanya seakan hilang.
Di Indonesia sendiri peredaran buku ilegal seperti menjadi kewajaran, terjual bebas di toko buku. Apalagi di era industri digital kini, keberadaan marketplace justru mendukung adanya praktik pelanggaran hak cipta. Shoppee, Bukalapak atau Tokopedia, menyediakan buku bajakan, baik buku fiksi maupun non fiksi. Mirisnya, di marketplace tersebut, tertera jelas jenis kualifikasi bukunya. Misalnya lapak tertentu menampilkan keterangan apakah buku yang dijual itu orisinal atau repro, kualitas kertas, dan tentunya dengan harga yang sangat miring.
Beredarnya buku bajakan di berbagai toko online ini didukung beberapa faktor. Dari pihak penjual, tentunya menjadi keuntungan, karena harga buku bajakan yang lebih murah daripada buku aslinya akan menarik banyak peminat. Di sisi lain, sebagian masyarakat sering menilai, yang terpenting dari sebuah buku hanyalah isi di dalamnya saja. Sehingga lebih memilih buku bajakan dan tidak mempedulikan hak cipta atas karya orang lain yang dilindungi. Pola demikian akan melanggengkan pelanggaran hak cipta di industri perbukuan Indonesia.
Belum lagi, kemudahan akses digital membuat distribusi buku bajakan semakin marak. Selain terjual bebas di marketpalce, juga tersebar di sejumlah platform digital. Masyarakat bisa secara cuma-cuma mendowload buku digital (e-book) Buku bajakan versi digital ini bisa dengan gampang juga disebarluaskan melalui media sosial.
Kasus pembajakan buku seperti ini, merugikan bagi penulis dan penerbit. Penulis dirusak hak ciptanya, dengan beredarnya buku bajakan. Kemudian bagi penerbit sendiri dirugikan karena berpengaruh terhadap omzet penjualan. Tidak hanya itu, beredarnya buku bajakan ini secara tidak langsung juga telah membunuh kreativitas seorang penulis. Sakralitas pengetahuan di dalam buku hasil pemikiran penulis seolah luntur karena industri yang hanya mementingkan bisnis dan keuntungan.
Dengan kondisi yang memprihatinkan seperti ini, beberapa penulis tergerak untuk melawan praktik pelanggaran hak cipta. Dilansir dari Tirto.id, Persatuan Penulis Indonesia (Satupena) melakukan aksi kampanye boikot marketplace yang menjadi sumber beredarnya buku ilegal. Mewakili para penulis Indonesia, Satupena mengecam keras peredaran buku ilegal yang tidak menghargai kerja keras penulis dalam menciptakan karya. Selain melanggar hak cipta yang sudah dijelaskan Undang-undang, hal ini juga beresiko terhadap kepercayaan masyarakat sendiri.
Kenapa kasus seperti ini masih sering terjadi? Padahal sudah secara jelas ada payung hukum tentang hak cipta yang diatur dalam Undang-undang Nomor 28 tahun 2014. Namun UU Hak Cipta yang tertera di setiap halaman awal buku tidak pernah dihiraukan. Padahal hal tersebut tidak lain untuk mengingatkan dan menyadarkan masyarakat akan pentingnya menghargai orisinalitas karya penulis yang telah melalui proses panjang.
Padahal pemerintah terus mengimbau kita untuk selalu mencintai produk lokal dan hasil karya anak bangsa. Tetapi karya anak bangsa sendiri, khususnya buku, seolah tidak dihargai masyarakat, karena banyak buku bajakan yang sengaja diedarkan di toko-toko buku. Di sini, kita patut mempertanyakan kembali kepada pemerintah, bagaimana tindakan tegas atas kasus pelanggaran hak cipta yang menjadi tradisi di Indonesia? Sampai kapan akan terus seperti ini?
Di Hari Buku ini, banyak dari kalangan masyarakat, mulai akademisi, aktivis, pemerintah, maupun orang biasa yang mengucapkan peringatan sebagai simbol seremonial. Banyak selebaran poster yang tersebar di media sosial yang berisi kampanye pentingnya menghargai hak cipta penulis dengan menyertakan tagar #stopbukubajakan. Tetapi hari ini seolah dijadikan sebagai seremonial belaka. Apakah dengan kampanye di media sosial dapat memberantas kasus pelanggaran hak cipta dan menghentikan laju peredaran buku bajakan?
Tentu tidak akan cukup jika dalam satu hari saja kita berkampanye soal ini. Hari buku menjadi refleksi kita bersama, seberapa besar kita mencintai buku yang menjadi jendela pengetahuan bagi umat manusia? Setiap individu yang memiliki kesadaran, tentunya dibuktikan dengan implementasi nyata setiap harinya, sehingga muncul gerakan untuk berhenti mengedarkan atau mengonsumsi buku bajakan di tengah masyarakat, bukan sebatas ucapan-ucapan romantis tentang peringatan hari buku yang hanya dilakukan satu hari dalam satu tahun.
[Gita]
KOMENTAR