HASIL laporan kasus kekerasan yang dikeluarkan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menjelaskan bahwa sepanjang tahun 2018, kasus meningkat hingga 14 persen. Kasus kekerasan tertinggi dari ranah privat seperti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), Kekerasan dalam Pacaran (KDP), dan Incest.
Kasus pemerkosaan oleh orang yang memiliki hubungan darah (Incest) ini cukup tinggi di tahun 2018, mencapai 1071 kasus dalam satu tahun. Pelaku tertinggi incest adalah ayah kandung dan paman yang memiliki hubungan keluarga terdekat dalam keluarga. Padahal posisinya di dalam lingkungan keluarga sebagai wali dan seharusnya dapat melindungi anak perempuannya.
Contohnya baru-baru ini terjadi kasus Incest yang melibatkan antara ayah dan anak perempuannya. Ayah dengan inisial MM berumur 44 tahun mengaku mencampuri putri kandungnya yang masih berusia 16 tahun. Dia juga mengaku sudah melakukan tindakan keji tersebut selama setahun belakang, (Tribunjakarta.com, 15/01/20).
Bermula dari menonton video porno dan akhirnya MM melampiaskan hasratnya kepada putri kandungnya. Parahnya ia bahkan sampai lupa sudah berapa kali melakukan hal keji tersebut, sampai melahirkan anak darinya. Alhasil ia dijerat dengan hukuman 15 tahun penjara sesuai UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Baca Juga: Mahasiswa dan Peranannya Memerangi Kekerasan pada Anak
Padahal sudah tidak menjadi rahasia umum lagi, jika anak yang lahir dari hubungan incest biologisnya akan lemah baik fisik maupun mentalnya. Hal ini dikarenakan DNA-nya hasil dari turunan ayah dan ibu yang sangat mirip. Akibatnya, anak tersebut akan melemah sistem kekebalan tubuhnya sehingga tidak mampu melawan penyakit dengan semestinya. Bahkan, lebih dari 40 persen anak hasil hubungan incest mengalami cacat fisik, hingga defisit intelektualitas yang parah sampai mengalami kematian atau letal. Dilansir dari pospapua.com (03/07/2019), resiko lain yang di derita oleh keturunan incest adalah kelainan Resesif Autosomal atau Albinisme (pembentukan pigmen yang tidak sempurna karena faktor genetis).
Pasangan incest cenderung memiliki kode genetik sama, sehingga peluang keturunan yang dihasilkan semakin besar untuk mewarisinya. Misalnya, jika pasangan incest memiliki 50 persen peluang untuk mewarisi gen rusak pada keturunan, maka keturunan selanjutnya akan memiliki 25 persen peluang resiko albinisme.
Faktor lain dari incest adalah dari kondisi psikososial individu yang kurang sehat. Elly Risman, Psikolog Yayasan Kita dan Buah Hati mengatakan kasus ini bakal sering terjadi jika kontrol keluarga melemah dan kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pengetahuan terkait incest. Selain itu, masih ada keluarga yang takut melaporkan pelaku karena adanya ancaman, maupun malu jika aib tersebut terbongkar di hadapan publik.
Baca Juga: Sejak Perempuan (Terpaksa) Memilih Menjadi Buruh
Dari kasus incest beberapa disebabkan karena rasa kasih sayang yang tidak lazim diantara keduanya (affection based), ketertarikan erotis (terangsang ketika melihat bagian tubuh), maupun didasarkan pada kemarahan dan agresi (aggression based). Pada kasus terakhir, penyebabnya disertai dengan ancaman dan kekerasan. Apalagi korban biasanya berasal dari anak kandungnya sendiri, dia tidak akan berani melawan jika pelakunya adalah ayah atau ibu kandungnya sendiri.
Korban incest sendiri cenderung memiliki trauma psikologis yang serius dan berkepanjangan. Hal ini bukan tanpa sebab, seorang ayah yang semestinya melindungi dan menyayangi putrinya justru melakukan perbuatan keji yang merenggut masa depannya. Akibatnya, saat menuju fase kedewasaan, korban incest cenderung memiliki rasa percaya diri yang rendah. Mereka kemungkinan menemui berbagai kesulitan dalam hubungan interpersonal, bahkan mengalami disfungsi seksual, (Trepper, 1989).
Amy Sulasmi, Dosen Psikologi Sosial Universitas Bosowa Makassar, menjelaskan jika seseorang dengan psikis agresif cenderung mencari sosok lemah yang menjadi sasaran terhadap kekerasan seksual yang akan dilakukannya. Menurutnya, kekerasan seksual bisa dilakukan oleh siapa saja, bahkan terhadap orang terdekatnya. Dalam hal ini, cara pengasuhan orang tua yang salah kepada anak bisa saja menimbulkan terjadinya hubungan incest. Parahnya lagi jika pelakunya orang tua dan anak kandungnya sendiri.
Baca Juga: Darurat Kriminalitas Remaja
Terkadang, tindakan pelaku incest merupakan bentuk protes terhadap istrinya, yang dinilai tidak mampu memenuhi tuntutan peranan seksual. Di sisi lain, pelaku incest bisa saja memiliki gangguan kejiwaan distorsi kognitif. Gangguan ini cenderung memiliki pola pikir seperti, "daripada saudara kandung atau anak saya dirusak oleh laki-laki lain, lebih baik saya sendiri yang melakukannya."
Resiko psikologis juga dapat diterima pasangan incest secara sosial. Selain melakukan penyimpangan sosial, pasangan incest akan memperoleh 'hukuman' dari masyarakat. Hukuman ini cenderung menjadikan perbuatan mereka sebagai bahan buah bibir. Selain itu, pasangan incest kemungkinan akan mengalami diskriminasi dari masyarakat sekitar.
Di masyarakat sendiri, incest termasuk kejahatan kesusilaan. Perbuatan ini termasuk ke dalam perbuatan yang paling dicela dan dibenci oleh masyarakat. Sehingga, sangat memungkinkan jika sanksi sosial yang didapat cenderung mengarah ke mental pasangan incest.
Fenomena incest yang marak terjadi di Indonesia menjadi cambukan bagi kita semua. Tidak semestinya kejahatan seksual dilakukan orang tua kepada anaknya sendiri. Bagi Anda yang masih waras dan menjunjung tinggi moral, apakah akan meniru tindakan bejat seperti ini?
[Mita]
KOMENTAR