![]() |
Ilustrasi |
Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam kurun waktu lima tahun terakhir mengungkapkan 91 persen anak menjadi korban kekerasan di lingkungan keluarga, 87,6 persen di lingkungan sekolah, dan 17,9 persen di lingkungan masyarakat. Bahkan dalam sehari, KPAI dapat menerima 200 laporan kekerasan pada anak. Data tersebut menunjukkan betapa tragisnya nasib anak Indonesia.
Anak-anak yang berada dalam zona suci selama prosesnya menuju kedewasaan untuk menjadi generasi penerus masa depan bangsa kini harus terpaksa direnggut haknya untuk bahagia dengan segala bentuk kekerasan.
Sigmund Freud dalam psikoanalisisnya menyatakan bahwa kepribadian manusia ditentukan oleh lima tahun pertama kehidupannya. Bayangkan saja jika pada masa yang istimewa tersebut, anak-anak mengalami tindak kekerasan, lebih-lebih pelecehan seksual oleh lingkungan terdekatnya. Kepribadian seperti apa yang terbentuk dari masa istimewa yang suram tersebut?
Usaha dan upaya untuk mencegah anak-anak menjadi korban kekerasan selama ini tampaknya masih belum berjalan maksimal. Tentu usaha dan upaya tersebut mestinya bersifat dinamis dan inovatif agar setiap kasus dapat dihadapi dengan dinamis dan inovatif pula. Progam-program seperti Lihat, Lapor, Lindungi (3L), dan program lainnya masih cukup efisien dan menarik untuk didukung. Sebab program-program semacam ini masih memiliki fungsi mengajak masyarakat untuk sadar dan lebih peka terhadap tindak kriminalitas, khususnya kriminalitas kepada anak.
Perlu dukungan dan kerja sama dari semua elemen masyarakat dalam pelaksaan program-program tersebut. Khususnya dari elemen pemuda yang berstatus mahasiswa, dimana ketika dilihat dari sudut pandang psikologi perkembangan, mahasiswa memiliki semangat dan intelektualitas yang tidak akan pernah padam. Pada masa dewasa awal inilah stamina fisik dan jiwa manusia berada pada titik puncak. Peranan penting mahasiswa sangat dinantikan.
Mahasiswa pun memiliki beban sebagai guide of value (pengawal nilai) dan agent of social control (kontrol sosial) berperan penting dalam memberikan sumbangsih terhadap masalah dilematis bangsa ini. Kekerasan pada anak-anak yang terus meningkat. Melalui mahasiswa, diharapkan akan lebih efektif dan sistematis. Sebab di dalam diri mahasiswa adalah insan yang menjunjung tinggi cara kerja ilmiah, bertindak sistematis, logis, dan kredibel. Hal tersebut sangat menentukan hasil yang nyata dan berkualitas.
Bagamaina Langkahnya?
Dalam usaha memerangi kriminalitas yang terjadi pada anak-anak, ada hal penting yang perlu digarisbawahi bahwa kita semestinya peka terhadap kondisi dan perkembangan zaman. Kini, kita tengah berada di era kemajuan teknologi dan era virtual. Kinerja pejuang pembela kekerasan harus didukung dengan semangat dan langkah yang berkemajuan. Bagi penulis, penting untuk menguasai, menggunakan, dan memanfaatkan produk zaman yang berkemajuan sebagai terobosan, yakni jurnalisme.
Mahasiswa yang sedang berjuang dalam hal ini sangat membutuhkan semangat dan sikap Etnographic Journalism. Sebuah penggabungan antara semangat dan cara berpikir peneliti yang mendalam serta partisipatif (melebur bukan hanya sebagai pengamat, tapi ikut jadi bagian dari fenomena) dengan semangat dan sikap seorang jurnalis yang menjunjung tinggi skeptisme untuk melaporkan fakta yang dilihat, didengar, dan dirasakan dengan objektif. Dengan demikian peranan mahasiswa dalam memerangi fenomena dilematis ini akan lebih diakui validitasnya.
Tod Conover, menjadi jurnalis pertama yang mempopulerkan etnographic journalism dalam karyanya, Newjack. Ia memberikan contoh etnographic journalism dengan pengalamannya ketika melakukan peliputan di sebuah penjara yang super ketat dan brutal di Amerika dengan masuk menjadi sipir. Conover menjadi bagian dari penjara tersebut dan melahirkan Newjack yang ia katakan sebagai gambaran dunia yang tersembunyi dan konflik antara keharusan mengisolasi manusia (termasuk sipir) dengan cara yang tidak manusiawi.
Apa yang dilakukan oleh Conover bisa dijadikan acuan oleh mahasiswa dalam menyelesaikan setiap permasalahan di masyarakat. Mahasiswa memang memerlukan langkah nyata dalam menangani setiap masalah, sehingga tidak hanya selesai di dalam teori belaka.
Selain itu, pemanfaatan teknologi juga menjadi hal yang tak terpisahkan. Selain memiliki semangat etnographic journalism, mahasiswa dalam peranannya juga perlu melakukan advokasi atau pendampingan intensif menggunakan teknologi. Hal tersebut bisa dilakukan dengan mendokumentasikan obyek yang diteliti dengan foto dan video dokumenter. Hal ini dikenal dengan Jurnalisme Advokasi.
Mahasiswa yang memiliki jiwa etnographic journalism dengan langkah jurnalisme advokasi dapat menjadi senjata ampuh dalam memerangi kekerasan terhadap anak di Indonesia yang terus bertambah setiap tahunnya. Melalui cara tersebut, program-program penangkal kekerasan terhadap anak-anak pun dapat dijalankan secara maksimal oleh masyarakat, terutama kalangan mahasiswa. Intinya, melihat dengan detail dan objektif, melaporkan dengan faktual dan valid, serta melindungi korban kriminalitas dengan pendampingan intensif. (Ummi Abdillah)
KOMENTAR