Sumber: Istimewa |
Tragedi ini sangat wajar dan menjadi konsekuensi dari kemajuan zaman yang selalu diidam-idamkan manusia. Ketika internet sudah menjadi kampung global, manusia tidak lagi mengenal sekat ruang dan waktu. Hal tersebut juga mengaburkan realitas paling esensial dari individu manusia, termasuk pula identitas dan pengetahuan yang dimiliki.
Karakter manusia abad modern kini tidak bisa lepas dari internet dan media sosial. Di ruang virtual tersebut semua orang dapat berbicara tentang segala problematika sosial secara subjektif. Namun tanpa bekal pengetahuan yang sempurna, mereka melegitimasikan dirinya laiknya seorang pakar. Tanpa mengetahui seluk-beluk kondisi yang terjadi, tetapi berani berbicara di depan publik.
Seperti yang terjadi di tengah Pandemi Covid-19 saat ini. Banyak disinformasi dan berita hoaks yang bermunculan di media sosial. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sendiri mencatat, hingga 5 Mei 2020, terdapat 1.402 konten hoaks dan disinformasi terkait Covid- 19 yang beredar di masyarakat. Misalnya informasi bahwa jahe, kunyit, dan bawang putih dapat membunuh virus corona.
Selain pertanyaan siapa yang telah mengatakannya, pertanyaan lain yang tak kalah penting adalah, sudahkah hal tersebut dilandasi dengan kajian dan riset mendalam? Atau justru hanya klaim belaka? Padahal di tengah kalang kabut menghadapi wabah ini, para peneliti dan ahli medis di dunia masih kesusahan dan terus berjuang untuk menemukan vaksin.
Klaim tersebut tampaknya semakin paradoks. Pasalnya Kepala Kelompok Penelitian Center for Drug Discovery and Development, Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Masteria Yunovilsa Putra, mengakatan bahwa jahe memang berfungsi untuk membantu meringankan gejala yang ditimbulkan, tetapi bukan untuk menyembuhkan atau untuk membunuh virus corona. “Sampai saat ini belum ada bukti yang melaporkan penggunaan jahe merah sebagai antivirus, khususnya virus Corona SARS-CoV-2,” katanya, (Bisnis.com/ 18/03/20).
Tarung Pakar Masa Pandemi
Wabah corona yang sampai saat ini masih menjadi misteri memunculkan respon dari berbagai kalangan. Setiap harinya media sosial menampilkan beragam informasi, mulai dari bentuk teks, gambar, dan vidio. Satu penjelasan dari ahli medis berbaur dengan ribuan sampah visual yang diciptakan orang awam seperti artis, Selebgram, dan YouTuber. Popularitas berupa tingginya jumlah followers dan subscriber mengalahkan agungnya ilmu pengetahuan seseorang.
Tom Nichols menyebut fenomena seperti ini sebagai The Death of Expertise atau matinya kepakaran. Orang-orang sok tahu, tanpa bekal pengetahuan, turut berpendapat di media sosialnya masing-masing. Meeka tidak memikirkan dampak yang terjadi. Padahal semua konten yang dibagikan berpotensi dikonsumsi banyak orang. Jika informasinya tidak benar, maka akan berakibat fatal. Terlebih ciri khas masyarakat kita adalah mudah percaya terhadap informasi tanpa melakukan verifikasi.
Gejala matinya kepakaran juga ditandai dengan apa yang disampaikan seorang pakar hanya menjadi angin lalu. Anjuran dan saran dari tenaga medis untuk menghindari kerumunan serta tetap menerapkan protokol kesehatan sering diabaikan. Bahkan pemerintah pun turut melegalkan hal tersebut dengan membuka kembali mall dan tempat wisata.
Dalam penerapan new normal, pemerintah memang telah mengimbau masyarakat untuk tetap menjaga jarak dan selalu mengenakan masker. Namun usaha yang diharapkan untuk memulihkan perekonomian negara justru malah menambah jumlah pasien positif corona. Hal ini karena kesadaran masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan masih minim serta kurangnya pengawasan dari pemerintah sendiri.
Pilihan untuk Diam
Dalam bukunya The Death of Expersite, Tom Nichols mengungkapkan bahwa internet menjadi biang keladi dari matinya kepakaran. Dunia maya mengaburkan realitas hakiki. Identitas manusia menjadi absurd. Kebenaran dapat dimanipulasi dengan mudah. Berita bohong dan disinformasi terjadi setiap hari. Orang-orang dungu dan amatir lahir. Popolaritas lebih dipuja daripada intelektualitas.
Internet mengubah semua orang menjadi ahli secara instan. Semua orang punya ruang kebebasan melalui media sosialnya untuk mengomentari segala permasalahan tanpa memperhatikan kapasitas dan kualitas keilmuan yang dimiliki. Hanya mendapatkan kepingan informasi, lantas percaya diri dan merasa tahu segalanya. Namun orientasinya bukan kepada kebenaran, melainkan eksistensi atau pengakuan dari orang lain.
Baca Juga: Paradoks Anak-anak Berinternet
Dalam kondisi demikian, maka diam menjadi pilihan terbaik. Pepatah Arab kuno yang mengatakan, “Diam itu emas” tetap relevan di era internet sekarang. Diam di sini bukan berarti tidak peduli melihat penderitaan orang lain. Melainkan memberikan kesempatan kepada para pakar di bidangnya untuk bertindak. Sedangkan orang awam tetap berbuat sesuatu sesuai dengan arahan seorang pakar.
Dalam kondisi demikian, maka diam menjadi pilihan terbaik. Pepatah Arab kuno yang mengatakan, “Diam itu emas” tetap relevan di era internet sekarang. Diam di sini bukan berarti tidak peduli melihat penderitaan orang lain. Melainkan memberikan kesempatan kepada para pakar di bidangnya untuk bertindak. Sedangkan orang awam tetap berbuat sesuatu sesuai dengan arahan seorang pakar.
Namun paradigma yang berlaku saat ini justru diam dianggap sebagai bentuk ketidakmampuan dan ketidakpedulian. Orang yang tidak melakukan update di media sosial dinilai tidak eksis. Hal ini yang menimbulkan mindset bahwa segala sesuatu seolah patut diutarakan semua orang. Padahal sejatinya diam dapat menutup aib kita sendiri. Sebagaimana filsuf asal Austria, Ludwig Wittgenstein berkata, “Saat seseorang tidak dapat bicara, daripadanya seorang harus diam.”
Dalam hadis riwayat Imam Buchori, Nabi Muhammad besabda, “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” Jika seseorang tidak tahu apa-apa namun tetap nekat untuk berbicara, hal itu justru tidak hanya merugikan diri sendiri, tapi juga dapat membahayakan orang lain.
Diam juga menunjukkan kerendahan hati seseorang. Socrates, orang paling bijaksana di Athena pada masa Yunani Kuno selalu merasa tidak tahu. Ia lebih sering bertanya dan berdialog agar dapat menemukan kebenaran sesungguhnya. Ia berani melawan tradisi Kaum Sofis yang merasa tahu segala hal. Para Sofis ketika berbicara dan mengajarkan sesuatu kepada masyarakat Athena selalu meminta upah berupa uang. Tidak jauh beda dengan manusia abad modern hari ini, yang terus update di media sosial dengan mendambakan popularitas.
Socrates pernah berkata, “Kebaikan satu-satunya adalah pengetahuan dan kejahatan satu-satunya adalah kebodohan.” Lantas apakah Anda akan tetap memilih berbuat jahat kepada saudara Anda dengan kebodohan yang Anda tampilkan di media sosial?
[Mahfud am]
KOMENTAR