ADA CERITA dari mitologi Yunani tentang dua orang yang mendapatkan hukuman abadi dari dewa, Sisifus dan Prometheus. Kisah ini dapat kita baca dalam Le Mythe de Sisyphe (Mitos Sisifus), sebuah esai karya Albert Camus yang berhasil melambungkan namanya dalam dunia filsafat abad 20. Camus menjadikannya sebagai alegori dalam mengemukakan pemikirannya tentang absurditas, ketidakbermaknaan hidup manusia.
Pertama, Sisifus, ia memang kurang ajar, seorang pembangkang, dan berani menentang para dewa. Namun ia juga pejuang dan penyabar. Menjalankan hukuman dengan lapang dada, menikmatinya dengan kebahagiaan.
Sisifus adalah seorang raja dari Corinth. Konon ia sering berbuat kejahatan di muka bumi ini, menyalahgunakan kekuasaannya untuk berbuat kezaliman. Ia tidak takut membocorkan rahasia Dewa Zeus yang telah menculik Aegina, putri Asopus dan melaporkannya kepara dewa sungai. Para dewa pun murka dan memberi hukuman kepada Sisifus dengan memasukkannya ke neraka.
Syahdan, ketika di neraka Sisifus merindukan bumi. Kemudian ia bermaksud menipu dewa dengan meminta izin untuk singgah di bumi sebentar dan berjanji akan kembali lagi ke neraka. “Namun ketika ia melihat kembali wajah dunia ini, menikmati air dan matahari, bebatuan yang hangat dan lautan, ia tidak mau kembali kepada kegelapan neraka,” tulis Camus dalam esainya itu.
Menipu dewa adalah kejahatan terbesar dalam hidup Sisifus. Kali ini para dewa sangat geram. Akhirnya menjatuhkan hukuman abadi kepada Sisifus, yakni mendorong batu dari bawah sampai ke puncak gunung. Namun batu itu akan kembali menggelinding ke bawah. Sisifus pun mendorongnya lagi agar sampai di puncak. Setiap kali terjatuh, ia harus mendorongnya lagi, begitu seterusnya, berulang-ulang. Sungguh perkerjaan yang sia-sia. Camus menyebut bahwa hukuman yang menimpa Sisifus adalah “Siksaan tak terperikan di mana segala yang dikerjakan tak menghasilkan apa-apa.”
Dalam kisah lainnya, Prometheus juga mendapatkan kutukan abadi laiknya Sisifus. Karena mencuri api, Dewa Zeus menghukumnya dengan mengikat tubuhnya di atas Gunung Kaukasia. Ia hanya bisa berdiam diri sampai burung pemangsa datang mencabik-cabik perutnya. Burung itu baru akan pergi setelah perutnya hancur. Oleh karena ini merupakan hukuman abadi, perut Prometheus kemudian sembuh lagi. Dan sang burung datang kembali untuk memakan perutnya. Dan setiap kali perutnya sembuh, burung itu akan menghancurkannya lagi, terus berulang-ulang, tak pernah usai.
Ketidakbermaknaan Hidup
Hukuman abadi yang menimpa Sisifus dan Prometheus adalah gambaran kehidupan manusia di dunia. Bahwa hidup itu absurd, tidak jelas maknanya. Menurut Camus, segala upaya filsuf dalam mencari dan menjelaskan makna hidup manusia karena ketidakbermaknaan hidup itu sendiri. Ketika filsuf menganggap dirinya berhasil menemukan makna hidup, itu tidak benar secara objektif, karena berdasar pada pengalaman yang ia alami.
Absurdisme, mazhab filsafat eksistensialisme yang diperkenalkan Camus mengungkapkan bahwa upaya manusia untuk menemukan makna kehidupan, akan berakhir pada kegagalan. Perjuangan manusia dalam mengejar tujuan hidupnya akan menjadi sia-sia. Manusia terjebak dalam pencarian makna kehidupan, namun hal itulah yang membuatnya tidak dapat menikmati kehidupan itu sendiri.
Peristiwa yang terjadi di dunia ini adalah bentuk absurditas. Apa yang dalam gambaran dan pikiran manusia tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Dunia ide seringkali bertentangan dengan dunia pengalaman. Misalnya kita meyakini konsep bahwa agama menjadi sumber perdamaian. Namun pada faktanya, dari dulu sampai sekarang, -dan juga di masa depan, banyak konflik di muka bumi ini terjadi karena agama. Beragam konflik selalu datang dalam setiap masa, dengan bentuk, pola, dan kemasan yang baru. Atau sejatinya manusia memang tidak menyelesaikan konflik tersebut? Lalu sebenarnya apa yang telah berhasil dikerjakan manusia?
Inilah absurditas, konfrontasi antara idealisme dan realitas. Menjadi suatu titik yang tidak pernah dicapai oleh manusia. Manusia akan terus berjalan, namun ia tidak akan pernah selesai untuk menempuh jalan yang tak berujung itu. Usaha yang dilakukan manusia untuk mencapai tujuan hidupnya tidak akan pernah berhasil.
Kehidupan manusia ibarat rutinitas yang menjemukan. Bagi Camus, karakter manusia tidak lebih dari benda mekanik, lebih mirip robot yang bekerja dalam suatu sistem dan tatanan sosial tertentu. Seperti halnya rutinitas harian. Ketika pagi, orang-orang dewasa pergi bekerja, sementara anak-anak berangkat sekolah, dan masing-masing akan pulang saat sore hari. Ketika akhir pekan mereka akan menikmati hari libur dengan caranya masing-masing. Bisa berdiam diri di rumah bersama keluarga, atau nongkrong bareng teman-teman, atau pergi ke suatu tempat yang indah dengan kekasih. Selalu saja begitu.
Tetapi pada sisi lain, dari yang nun jauh di sana, ada pertanyaan yang menggema ke dalam diri kita masing-masing: untuk apa aku melakukan ini semua? Apa tujuan yang ingin aku capai? Apa yang sebenarnya aku cari dalam hidup ini? Mengapa aku begitu berjuang mati-matian untuk mendapatkannya? Absurd. Hanya ruang kosong dan angin pagi, tulis Subagio Sastrowardoyo dalam puisinya, “Kata”.
Menjadi Orang Asing
Absurditas yang ingin dijelaskan Camus juga dapat kita temui dalam novel L’Etranger (Orang Asing). Salah satu mahakarya yang berhasil mendudukkannya sebagai peraih penghargaan nobel sastra pada 1957, dan membuat namanya dikagumi banyak orang. Camus memang lebih suka mengungkapkan absurdisme-nya secara implisit melalui karya sastra, seperti yang terdapat juga dalam novel maupun cerpennya yang lain, daripada ungkapan secara eksplisit. Barangkali inilah yang menjadikan Camus lebih diagungkan sebagai sastrawan daripada filsuf- tidak menafikan juga bahwa ia seorang pemikir.
Novel Orang Asing mengisahkan Meursault, seorang pegawai dengan ekonomi menengah ke bawah. Penghasilannya tidak cukup untuk membiayai kebutuhan hidup ibunya. Sehingga ia mengirim ibunya ke panti jompo. Meursault memiliki sifat melankolis, lembek, tidak peduli dengan dunia sekitar, dan -saya tega menyebutnya- tidak memiliki gairah hidup. Meursault menganggap bahwa hidup terasa biasa-biasa saja, bukan suatu hal yang istimewa. Ia tidak punya prinsip dan tujuan yang jelas dalam hidupnya.
Kita dapat mengetahuinya pada paragraf pertama dalam novel ini, saat ia mendapatkan kabar kalau ibunya meninggal dunia. Kemudian ia datang ke panti itu, duduk di depan peti mati ibunya tanpa perasaan apa-apa. Tanpa kesedihan, tanpa isak tangis, tanpa suara sendu sedikit pun. Untuk apa pula ia menangis, toh, hidupnya tidak akan berubah meski ibunya telah tiada. Camus cukup dramatis dalam mengungkapkan hal tersebut, “Bahwa saat ini ibu telah dikuburkan dan bahwa aku akan melanjutkan pekerjaanku.” Di situ tidak terdengar kemuraman, tidak terlihat pula spirit kehidupan.
Ia memiliki kebiasaan aneh yaitu memandangi jalan raya dari balik kaca apartemennya. Tampak orang-orang sibuk dengan perkejaannya, deru kendaraan berlalu lalang, dan gedung-gedung yang menjulang tinggi seperti ingin mencakar langit. Di sana ia seolah melihat sebuah pertunjukan teater. Sedangkan ia bertindak sebagai penonton, terpisah dan tidak menyatu dengan kehidupan itu. Ia tidak mengerjakan kesibukan sama seperti orang-orang lain. Ia menjadi orang asing dan menolak sistem lingkungan masyarakat.
Meursault memang tidak seperti orang lain, tidak memiliki tujuan dan impian dalam hidupnya. Sambil tetap memandangi jalanan, Meursault kadang sering bingung dan merenung. Mengapa orang-orang terlihat menggebu-gebu dalam mengejar tujuan mereka? Mengapa mereka begitu antusias dalam menjalankan rutinitas yang membosankan itu? Ia bergumam, bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, dan menebak segala kemungkinan-kemungkinan.
Suatu hari ketika di pantai ia menembak seseorang dengan pistol. Ia tidak tahu mengapa tiba-tiba ingin melakukannya. Anehnya lagi ia tidak menyesali perbuatan itu. Saat pengaadilan dan penjara meminta pertanggungjawaban atas tindakannya, ia sama sekali tidak sedikit pun membela diri. Ia seolah pasrah, tidak punya keinginan untuk mengelak dan membebaskan diri. Apa yang akan menimpa dirinya, baginya menjadi hal biasa dan tidak ada yang berubah dalam hidupnya.
Ketika eksekusi hukuman mati datang kepadanya, ia tidak sedikit pun merasa cemas, khawatir, takut, merinding, seperti orang-orang kebanyakan. Pada bagian terakhir dalam novelnya ini, Camus menulis gumaman Meursault dengan lihai, “Supaya semua tereguk, supaya aku tidak merasa terlalu kesepian, aku hanya mengharapkan agar banyak penonton datang pada hari pelaksanaan hukuman matiku dan agar mereka menyambutnya dengan meneriakan cercaan-cercaan.”
Inilah absurditas yang digambarkan Camus. Meursault adalah manusia yang hidup di masa kini. Tidak menyesali masa lalu dan tidak mengharapkan apa-apa di masa depan. Ia memilih menjalani hidup apa adanya tanpa menganggap hidup sebagai suatu hal yang istimewa.
Dan pada akhirnya, “Hidup memang tidak layak untuk dijalani,” ungkap Camus dalam novel itu.
Menghadapi Absurditas
Kini kita kembali lagi pada kisah Mitologi Yunani itu. Dalam bagian akhir Mitos Sisifus, Camus menulis, “Perjuangan menuju ke puncak itu sendiri sudah cukup mengisi hati manusia, orang harus membayangkan Sisifus bahagia.”
Apakah Sisifus bahagia mendorong batu berulang-ulang? Ya, ia bahagia meski hukuman yang menimpanya adalah perbuatan yang sia-sia. Perjuangan itulah yang membuatnya tersenyum. Pesimis dan putus asa bukanlah jawaban yang harus dilakukan manusia atas ketidakbermaknaan hidup ini.
Sisifus dan Prometheus berbeda sikap dalam melaksanakan hukuman abadinya. Ketika menyadari bahwa hukumannya tidak akan pernah berakhir, hal yang paling Prometheus inginkan saat itu adalah kematian. Ia menyerah dan putus asa. Menurutnya bunuh diri menjadi jalan yang terbaik.
Berbeda halnya dengan Sisifus, meski ia tahu bahwa pekerjaannya akan sia-sia, ia tetap menjalaninya dengan lapang dada. Tetap berjuang keras dan tidak menyerah untuk mencapai tujuan. Sisifus juga berusaha untuk memperbaiki setiap kesalahannya dengan mencari mana jalan yang mudah dilalui agar batu itu sampai di puncak gunung dengan cepat.
Begitu halnya dengan manusia di dunia. Setiap orang adalah Sisifus yang memiliki batunya masing-masing. Batu itu ibarat tujuan dan prinsip yang harus diperjuangkan dalam hidup. Untuk mencapainya, dibutuhkan usaha dan kerja keras.
Namun ketika berhasil pada satu tujuan, batu itu akan menggelinding ke bawah lagi. Manusia akan mencari makna hidupnya yang lain dan akan berjuang untuk mencapai tujuan itu. Pencarian itu tidak akan pernah selesai. Namun perjuangan dan keberhasilan sesaat itulah yang terkadang membuat kita bahagia dan hidup ini terasa berharga.
Dalam menghadapi absurditas ini, manusia tidak akan lepas dari tiga pilihan. Pertama yakni bunuh diri. Menurut Camus, tindakan itu menunjukkan ketidakberdayaan manusia dan bukanlah jalan yang harus ditempuh. Manusia tak lebih dari pengecut yang melarikan diri dari eksistensi. Selanjutnya yaitu menolak kemampuan individu untuk mencari makna secara rasional. Atau dalam bahasa Camus, bunuh diri filosofis. Manusia mencari pegangan untuk menemukan makna hidup dengan menyandarkan hidupnya pada agama, ideologi, dan lain-lain.
Pada pilihan ketiga, solusi yang ditawarkan Camus adalah menerima dan mengakui bahwa hidup memang absurd. Namun manusia harus tetap menjalankan hidup ini dengan memberi makna dalam hidupnya masing-masing. Karena hidup tidak bermakna, dan kita sendirilah yang mampu memberikan makna itu. Meskipun makna itu subjektif, tapi hal itulah yang dapat membuat hidup kita berarti.
Seperti halnya Sisifus yang tetap berjuang meskipun pekerjannya sia-sia. Karena ia menyadari bahwa ada tujuan yang harus ia perjuangkan dalam hidupnya. Ia menikmati hal itu. Bukan seperti Prometheus yang memilih kematian. Meski pada akhirnya Prometheus ditolong oleh Hercules, namun ia tidak mau berjuang untuk melawan absurditas itu. Ia pasrah begitu saja dan bergantung kepada hal lain yang bukan dari dirinya. Ia dapat hidup berkat orang lain, bukan karena eksistensinya sendiri.
Dengan memberikan makna pada hidup masing-masing, manusia akan merasa bahwa hidupnya memang layak untuk diperjuangkan. Sebagaimana kata Camus, “Aku percaya bahwa dunia tidak memiliki makna puncak, tapi aku tahu bahwa ada sesuatu di dunia ini yang bermakna, yaitu manusia. Sebab manusia adalah satu-satunya mahluk yang bersikeras membuat makna.” Sampai sini kita dapat mencium bau-bau eksistensialisme Camus.
Kita dapat memberikan makna pada hidup kita jika kita memberontak pada absuditas. Untuk dapat menemukan makna hidup, kita harus membebaskan dari belenggu apa pun. Melepaskan rantai yang mengikat tubuh kita. Karena jika “Aku memberontak, maka aku ada (eksis),” demikian adigium Camus. Dengan begitu, apa yang kita lakukan – meski akan berakhir sia-sia- akan membuat hidup kita tetap bermakna dan layak untuk dijalani, setidaknya bagi diri kita sendiri. Dan kita akan merasa bahagia dengan hal tersebut.
Saya tiba-tiba teringat petikan sajak Chairil Anwar si Binatang Jalan itu. “Derai-derai Cemara”, sajak terakhir yang ia tulis sebelum meninggal dunia pada usia 27 tahun:
Hidup hanya menunda kekalahan/ tambah terasing dari cinta sekolah rendah/ dan tahu ada yang tetap tidak diucapkan/ sebelum pada akhirnya kita menyerah
[Mahfud]
[Mahfud]
KOMENTAR