Dalam acara yang bertema "On Being A Muslim In The Today World : Learning To Live Together and The Quranic Liberation Theology" Farid mengatakan bahwa yang menjadi akar dari radikalisme dalam hermeunetik tafsir adalah tidak dijadikannya ayat-ayat kunci di dalam al-Qur'an sebagai fundamental untuk membaca al-Qur'an. Beberapa orang terlalu tergesa-gesa dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an.
"Beberapa orang atau kelompok terlalu tergesa-gesa dalam menafsirkan al-Qur'an, sehingga menyebabkan pemaknaan yang menyimpang," kata Farid yang sudah ditranslate oleh moderator acara, Sobirin Sahal.
Baca Juga: Tidak Dapat Kursi, Peserta Ngaji Bareng Farid Esack Duduk Lesehan di Lantai
Farid memberikan istilah 'al-isti'jal fil qiro'ah' yang berarti tergesa-gesa dalam membaca al-Qur'an. Hal itu dapat menimbulkan pemahaman yang tidak sesuai sehingga dengan mudahnya mengecam orang lain sebagai kafir.
"Begini dianggap kafir, begini dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang. Ini yang menjadi bagian dari adanya pandangan keagamaan berbasis pada Qur'an yang keras yaitu disebut radikalisme," imbuhnya.
Selanjutnya, Farid juga menyebutkan bahwa radikal bisa dilihat dari konteks relasi. Ia mengatakan bahwa problem yang mendasar selama ini sudah terjadi sejak sejarah sebelum kita ada yaitu bagaimana sikap kita terhadap isu-isu muslim.
"Problem yang mendasar selama ini sudah terjadi sejak dulu yaitu bagaimana sikap kita terhadap isu muslim dan sekarang ada muslim dan ethnis chinese. Dan ini harus diberi perhatian khusus oleh kalangan muslim moderat," jelasnya.
Sebagai informasi, acara Ngaji Bareng Esack ini diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis UIN Walisongo ke-49. Acara ini diikuti oleh ratusan mahasiswa dan puluhan dosen UIN Walisongo Semarang. [Rep. Fine/Red. eL]
KOMENTAR