![]() |
Lingkungan Fakultas Ushuluddin dan Humaniora ketika masih ada pohon Beringin |
Judul di atas mungkin mirip cerpen. Tapi penulis tidak bermaksud menulis cerpen, hanya menulis catatan atas kerinduan penulis yang pernah menghirup kesegaran udara dari akar gantung pohon Beringin di kampus biru.
Kampus biru. Begitu Fakultas Ushuluddin IAIN (Sekarang UIN , dan sudah bertambah Ushuluddin dan Humaniora) disebut atau begitu ia menyebut dirinya. Entah karena apa bisa demikian. Padahal cat gedungnya hijau, sama dengan gedung fakultas lain. Mungkin karena biru sudah terlanjur jadi makna kedalaman ilmu, semoga begitu.
Memang ada yang berwarna biru. Misalnya kaos, jilbab dan slayer ikat kepala biru saat orientasi yang wajib dibawa mahasiswa baru, dan logo salah satu UKM nya, LPM IDEA. Oh ya, yel-yel saat penulis awal masuk kampus juga menggunakan kata biru. "Biru, biru, biru Ushuluddin, biru pasti menang" atau "kampus biru beraksi, walau terik panas matahari...". Tentu seterusnya penulis tidak hafal liriknya, seni dalam diri penulis ibarat lebar daun beringin dibanding diameter batang pohonnya.
Ada pohon paling keramat di kampus biru itu. Pohon ringin tua, ditanam pada awal 1990-an, rindang mengayomi tanpa pilih kasih siapa pun yang berteduh di bawahnya. Dan kampus biru pun yang gedungnya sebenarnya tak jauh beda dengan Madrasah Aliyah, tampak berwibawa dengan Beringin sebagai penjaganya.
Sekitar Beringin, biasanya dibuat jagongan mahasiswa-mahasiswa menjelang atau setelah kuliah. Dari sekadar bercanda, main gitar, dan bahas yang serius-serius seperti kondisi sosial kebangsaan dan perihal Tuhan.
Mahasiswa aktivis lebih dominan jagongan di sekitar Beringin. Seperti diskusi sore, sampai kegiatan yang dibuat-buat sendiri di hari libur. Banyak ide-ide gerakan, ide-ide yang kemudian menjadi tulisan dan terbit di koran-koran turun di situ. Tempat duduknya yang terbatas, membuat mahasiswa dengan komunitasnya berebut adu cepat menduduki area tersebut.
Namun, saat bulan puasa Tahun 2014 ketika libur semester, Beringin penjaga kampus biru ditebang. Katanya merusak saluran pipa air bawah tanah, dan yang menginstruksikan untuk menebang, orang yang katanya menanam Beringin muda dulunya. Ada pepatah, siapa yang menanam, ia akan memanen, tapi ini, siapa yang menanam, ia yang berhak menebangnya.
Penebangan berjalan mulus. Tak ada yang demo karena sedang berlibur. Hanya ada beberapa umpatan protes, lewat grup Facebook menge-tag dosen, pejabat kampus, sesuatu yang mungkin tidak sempat generasi sekarang rasakan sensasinya.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Yang tadinya bersahabat jadi musuh, lalu bersahabat lagi, atau tetap bermusuhan. Yang tadinya sepasang kekasih, beberapa sudah jadi mantan, beberapa berhasil melanjutkan ke pernikahan.
Beringin pun dirindukan, atau lamat-lamat ada ketidaksetujuan, kenapa Beringin ditebang. Pasti tidak sedikit alumni yang datang ketika reuni mencari kebingungan.
Beberapa aktivis berkata, menurunnya kualitas intelektual dan gerakan mahasiswa itu beriringan dengan hilangnya ringin dari kampus biru. Akar-akar intelektual dan gerakan dulu diwarisi dari generasi ke generasi di bawah ringin. Perjumpaan ide gerakan dan ide-ide perubahan matang di bawah pohon rindang itu. Pohon yang akar gantungnya dijadikan media latihan speed climbing.
Ringin yang menjadi tempat mewariskan harapan untuk menjadikan kampus biru sebagai fakultas terdepan telah jadi kenangan. Beringin berganti meja bundar dengan besi ringan dan penutup sederhana yang gagal menghindarkan panas bagi orang yang berteduh di bawahnya.
Sekarang kampus biru memiliki banyak taman-taman dan gazebo-gazebo, yang indah untuk berfoto.
[Zaim Ahya dan Ahmad Muqsith (Ketua Senat dan BEM Ushuluddin UIN Walisongo 2014)]
KOMENTAR