Judul: Gadis Pantai Penulis: Prmoedya Ananta Toer Penerbit: Lentera Dipantara Cetakan: Kedua Tahun terbit: 2003 Genre: Roman Tebal: 270 halaman |
Pada masa pra-kemerdekaan, strata sosial masih menjadi pedoman utama dalam menilai kedudukan seseorang. Tingkat sosial tertinggi hanya dimiliki keluarga priyayi. Sedangkan masyarakat biasa, seperti nelayan tergolong dalam tingkat sosial yang rendah. Selain itu, sosok bapak diyakini sebagai pusat panutan dari apa yang harus dilakukan oleh anggota keluarganya. Tradisi semacam ini tergambar dalam novel Gadis Pantai. Si gadis terpaksa menuruti perkataan bapaknya untuk dipinang seorang priyayi dari Kabupaten Rembang.
Novel ini menggambarkan seorang anak yang tumbuh di kampung nelayan. Kulitnya kuning langsat dan bertubuh mungil, begitulah ciri khasnya. Ia menjadi pusat perhatian salah satu priyayi di kotanya. Di usia yang keempat belas, dia harus siap dinikahi karena paksaan dari kedua orangtuanya.
Dalam kesehariannya orangtua si gadis pantai bekerja sebagai nelayan, tentunya dengan penghasilan pas-pasan. Latar belakang sebagai orang yang miskin membuat ayah si gadis pantai sulit menolak permintaan dari golongan bangsawan, termasuk permintaan untuk menikahkan anak perempuannya. Atas dasar kebaktian kepada orangtua agar hidup lebih sejahtera, akhirnya si gadis pantai diboyong ke kota untuk hidup bersama sang priyayi.
Dengan menunggangi dua dokar yang beriringan, emak beserta bapak si gadis pantai mengantarnya bertemu sang priyayi. Mereka pergi ke kota menuju gedung megah yang belum pernah mereka bayangkan sebelumnya. Sepanjang perjalanan, si gadis pantai tak henti-hentinya menangis. Bedak tebal yang melekat diwajah ayunya berguris-guris mengelimantang oleh air matanya. “Sst. Jangan nangis. Jangan nangis. Hari ini kau jadi istri pembesar,” (hal. 12).
Gedung besar–rumah sang priyayi- yang berada di kota itu menjadi saksi bisu pertemuan dua keluarga, gadis dan priyayi. Pertemuan itu membawa si gadis pada gelar barunya, ‘Mas Nganten’. Sebutan untuk gadis yang telah dipinang seorang priyayi.
Pramoedya Ananta Toer, sang penulis novel, menceritakan tentang feodalisme masyarakat di sekitar pesisir pantai utara Rembang yang dilakukan oleh golongan priyayi pada saat itu. Rakyat kecil harus menuruti segala perintah keluarga priyayi. Begitu juga si gadis pantai, ia harus selalu menuruti apa saja yang dikatakan priyayi yang menikahinya. Para pembantu di rumah besar itu pun seperti robot. Hanya bicara kalau ditanya dan bergerak jika disuruh.
Si Gadis Pantai Era Sekarang
Budaya yang terkandung dalam novel ini sangat berbeda dengan budaya sekarang. Zaman dulu, belum ada undang-undang tentang hak asasi manusia, sehingga manusia cenderung melakukan apa saja yang ia kehendaki atas dasar ‘kekuasaan’. Berbeda dengan sekarang, semua orang memiliki hak asasi yang melindungi mereka dari penindasan para penguasa. Meskipun demikian, manusia zaman sekarang masih memiliki orangtua yang siap memberikan solusi untuk kebaikan hidup anak-anaknya. Jadi, meskipun mereka dilindungi hak asasi, namun mereka tidak sepenuhnya benar kalau membantah perintah orangtua.
Novel karangan penulis yang lahir pada tahun 1925 ini berlatar yang dapat mengingatkan pembaca akan suasana sejarah dan amanat yang terkandung di dalamnya sangatlah bermanfaat. Pramoedya dalam menulis novel ini tidak hanya mengajak pembaca untuk mengingat kembali sejarah bangsa pada masa pra-kemerdekaan. Akan tetapi, dia juga mengajak pembaca untuk kembali memahami makna strata sosial agar tidak disalahgunakan atas dasar kekuasaan. Dalam novel dengan tebal 270 halaman ini, Pramoedya memastikan agar tidak ada ‘Gadis Pantai’ lainnya.
Begitulah salah satu gambaran sosok perempuan pada masa Pramoedya. Gadis pantai cenderung lebih banyak sendiko dawuh kepada sang priyayi. Tak kuasa melawan, melakukan apapun yang diperintahkan. Di zaman sekarang, masih saja ada adat perjodohan di berbagai daerah di Indonesia. Salah satunya daerah Kodingerang, Sulawesi Selatan. Di daerah ini, ketika orang tua mengetahui anak perempuannya memasuki masa haid, maka orang tua tersebut segera mencarikan pasangan dan menikahkannya. Padahal, anak perempuan yang baru mengalami haid belum mapan dan belum siap lahir batin untuk menikah. Baik zaman dulu maupun sekarang, perjodohan yang mengekang kaum perempuan masih bisa kita jumpai. Apakah kamu termasuk salah satu di antaranya? (Bella Maesyaroh)
KOMENTAR