Melalui
novel ini, pembaca diajak menyelami sejarah kelam yang jarang dibicarakan di
ruang-ruang pendidikan formal. Indonesia pernah mengalami masa pelanggaran Hak
Asasi Manusia (HAM) berat, di mana orang-orang yang dituduh berafiliasi dengan
Partai Komunis Indonesia (PKI) atau berlatar belakang tahanan politik (tapol)
mengalami pengasingan, diskriminasi, bahkan alienasi dari kehidupan sosial.
Selain
itu, novel ini juga menunjukkan bahwa pergerakan mahasiswa saat itu sangat
terbatas. Untuk sekadar menulis, membaca, atau berdiskusi, mereka harus
melewati berbagai rintangan. Pada masa Orde Baru, buku-buku yang dianggap
berhaluan kiri akan disita. Karya-karya seperti milik Pramoedya Ananta Toer,
Tan Malaka, dan tokoh-tokoh yang terafiliasi kiri dilarang beredar. Jika aparat
mengetahui seseorang memiliki atau membaca buku-buku tersebut, orang itu bisa
ditangkap, dipenjara, disiksa, bahkan dihilangkan secara paksa.
Karena
itu, para mahasiswa saat itu harus mencari cara lain untuk tetap bisa belajar
dan berdiskusi. Buku-buku terlarang pada masa itu sering kali difotokopi lalu
disebarkan diam-diam kepada kawan-kawan mahasiswa lain. Mereka juga mengadakan
diskusi dengan cara sembunyi-sembunyi, dan harus selalu waspada.
Baca Selengkapnya: Sajak Purnama Teater Metafisis UIN Walisongo Jadi Panggung Kreativitas Pegiat Sastra
Tokoh
utama dalam novel ini, Biru Laut, bersama teman-temannya seperti Alex,
Naratama, Gala, Daniel, dan lainnya digambarkan sangat tangguh dalam memegang
idealisme. Mereka gigih memperjuangkan reformasi dan menuntut Indonesia baru
yang lebih manusiawi, Indonesia yang bebas berpendapat, bebas membaca, bebas
berdiskusi. Mereka ingin melihat masyarakat sipil dan mahasiswa dapat
berekspresi tanpa rasa takut akan represi aparat. Merekalah yang memperjuangkan
Indonesia untuk terbebas dari sistem otoriter rezim Orde Baru.
Namun
sayangnya, perjuangan yang mereka jalani harus berakhir dengan tragis. Laut dan
kawan-kawannya tak sempat menyaksikan Indonesia baru yang mereka impikan.
Gerakan mereka terendus aparat, selama tiga tahun pula mereka hidup dalam
pelarian sebelum akhirnya tertangkap dan dihilangkan secara paksa. Cita-cita
yang mereka perjuangkan dengan penuh keberanian harus terhenti di tengah jalan,
meninggalkan luka dan di lain sisi memperlihatkan semangat bagi generasi
berikutnya.
Setelah
tragedi kelam yang dialami Laut dan kawan-kawannya, akhirnya, reformasi pun
benar-benar terjadi. Soeharto turun dari jabatannya dan sistem pemerintahan
Indonesia mengalami perubahan besar. Indonesia memasuki babak baru yang mana
mahasiswa kini lebih bebas berdiskusi, buku-buku kiri yang dulu dilarang saat
ini sudah bisa dibaca, dan pers lebih leluasa mengkritik pemerintah.
Namun
kisah ini menjadi refleksi mendalam bagi kita. Jika pada masa Orde Baru
mahasiswa harus berjuang keras hanya untuk bisa membaca dan berdiskusi, maka
pada masa kini hambatan yang dihadapi justru berbeda yaitu bukan lagi
pelarangan. Melainkan rendahnya tingkat literasi masyarakat, khususnya di
kalangan mahasiswa yang kini justru cenderung abai terhadap kebebasan yang dulu
diperjuangkan sebegitu kerasnya.
Baca Selengkapnya: Enam Kehidupan Ma'had Putri UIN Walisongo yang Harus Kamu Ketahui
Menurut
laporan Times Indonesia, Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) yang
dirilis Perpustakaan Nasional memang menunjukkan peningkatan, dari 64,40 pada
tahun 2022 menjadi 73,52 pada tahun 2024. Namun, menurut UNESCO, minat baca
masyarakat Indonesia masih sangat rendah. Hanya 0,001% atau 1 dari 1.000 orang
yang benar-benar gemar membaca aktif. Artinya, meskipun ada kemajuan, Indonesia
tetap termasuk negara dengan minat literasi rendah di dunia.
Harapan
Biru Laut dan kawan-kawan dalam memperjuangkan reformasi adalah agar masyarakat
memiliki kebebasan, termasuk jaminan atas hak asasi manusia. Mereka ingin
mahasiswa bebas berdiskusi secara aman, membaca berbagai buku, bahkan buku-buku
yang dulu dianggap terlarang. Namun, ketika kesempatan itu kini sudah ada,
tantangan baru justru muncul, bagaimana agar mahasiswa dan masyarakat
benar-benar memanfaatkan kebebasan itu dengan meningkatkan budaya literasi.
Dengan
begitu, novel Laut Bercerita tidak hanya mengisahkan tragedi politik dan
perjuangan reformasi, tetapi juga menjadi pengingat bahwa kebebasan yang
diperjuangkan dengan darah dan air mata harus dijaga dengan kesadaran, salah
satunya melalui peningkatan budaya membaca dan berdiskusi.
Novel ini memiliki kelebihan serta kekurangannya. Bagi pembaca awam, novel ini tergolong berat bahasanya. Jika pembaca belum terbiasa maka sulit untuk memahami apa yang ingin penulis sampaikan dalam novel Laut Bercerita. Namun, jika pembaca paham dengan bahasa yang disampaikan novel ini sangat di rekomendasikan bagi orang yang ingin mengetahui sejarah kelam Indonesia khususnya pada tahun 1998. Meskipun tidak bisa dijadikan sebagai representasi sepenuhnya. Namun, cerita ini bukan dikemas dalam bentuk teori sejarah saja, tetapi menjadi alur cerita yang penuh gairah dan emosional, sehingga pembaca tidak merasa bosan ketika membaca buku Sejarah dalam bentuk novel.
[Lena]
KOMENTAR