Transaksi waktu, jam digital biologis (Day-Glo) yang berfungsi menampilkan tahun, bulan, hari dan jam sisa hidup manusia di Film In Time (2011) |
Sutradara: Andrew Niccol
Pemeran: Alex Pettyfer, Justin Timberlake, Amanda Seyfried, Cillian Murphy.
Durasi: 109 Menit
Tanggal Rilis: 28 Oktober 2011
"Saya tidak punya waktu. Kita direkayasa secara genetis untuk berhenti manua pada usia 25 tahun. Waktu kini menjadi mata uangnya. Orang kaya bisa hidup selamanya. Dan kita semua? - Will Salas
Kutipan di atas diambil dari sebuah dialog yang dibawakan oleh Justin Timberlake (Will Salas) di sebuah adegan dalam film "In Time (2011)". Film yang berdurasi 1 jam 49 menit tersebut merupakan karya yang ditulis, diproduksi dan disutradarai oleh Andrew Niccol.
Di dalamnya, film tersebut menampilkan sebuah kondisi realitas kehidupan manusia dalam dunia paralel yang hidup melalui rekayasa genetik. Umur mereka dibentuk agar penuaannya berhenti pada usia 25 tahun.
Mereka memiliki jam digital biologis Day-Glo yang berada di lengan bawah mereka yang berfungsi untuk menampilkan tahun, bulan, hari dan jam yang menunjukkan waktu hidup mereka. Selanjutnya mereka hidup dan menjalankan aktivitas dengan waktu tersebut, mereka membeli, menjual hingga berjudi dengan menggunakan sisa waktu hidup mereka.
Will Sales, merupakan seorang warga kota yang hidup di masa depan. Ia tinggal di sebuah kota yang bernama Ghetto, kemudian ia pindah ke New Greenwich. Dalam perpindahannya, ia dituduh oleh polisi waktu bahwa dirinya telah melakukan tindakan pembunuhan dan pencurian waktu terhadap seorang yang memiliki waktu satu abad.
Tuduhan tersebut membuat Will Sales menjadi buronan polisi waktu. Namun, pada kenyataannya, waktu yang ia dapat merupakan hadiah dari pria yang justru ia selamatkan dari seorang penjahat.
Digambarkan, Ghetto ialah kota yang menjadi tempat tinggal masyarakat kelas bawah, sementara New Greenwich ialah kota yang dihuni oleh orang-orang kaya yang memiliki kekuasaan. Terdapat perbedaan kelas yang didasarkan pada golongan tingkat penghasilan dan tempat tinggal dalam adegan film tersebut.
Film tersebut menggambarkan realitas kaum proletar yang mencoba keluar dari belenggu sistem kapitalisme para penguasa.
Will Sales dan rekannya, Sylvia Weis, memberontak dengan cara melakukan perampokan bank waktu milik ayah rekannya. Ia merasa tak adil dengan adanya distingsi kelas sosial yang begitu kontras.
Masyarakat kelas bawah yang nyawanya terenggut karena kehabisan waktu, sedangkan masyarakat kelas atas sibuk berjudi waktu tanpa berpikir sedikit pun mereka akan kehabisan waktu dan mati.
Will Sales dan Sylvia Weis membagikan waktu curian mereka untuk masyarakat yang miskin waktu. Dengan begitu terciptalah keadilan bagi semua orang untuk tetap hidup.
Kelas-kelas Kapitalisme “Kita”
Selaras dengan film tersebut, kapitalisme telah mengakar selama berabad-abad dalam sistem perekonomian dunia, tak terkecuali di Indonesia. Perbedaan kelas sosial yang begitu kontras seakan menjadi pemandangan lumrah, dimana tak beda jauh dengan yang terjadi di film “In Time”. Ada beberapa kelompok yang menguasai pasar dengan kekayaan yang melimpah dan ada pula kelompok pekerja dengan upah yang minim.
Baca Juga: Guru Hari Ini: 'Diguyu' dan 'Dipadu'?
Penyebab adanya distingsi antar kelas yang tajam ini, salah satunya disebabkan oleh akses terhadap pendidikan yang tidak merata. Individu dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah, cenderung memiliki relasi yang sempit dan strategi yang tidak matang dalam sistem perekonomian. Sedangkan individu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, memiliki kesempatan yang sebaliknya.
Efek dari tidak meratanya kesempatan terhadap akses pendidikan menjadi mata rantai yang sangat panjang bagi kelas bawah. Seorang anak yang lahir dari orang tua yang memiliki tingkat pendidikan rendah, cenderung mendapatkan pendidikan yang tak jauh berbeda. Akibatnya, pertumbuhan intelektual di masyarakat pun menjadi terlambat. Ia tak memiliki bekal untuk merencanakan masa depannya dengan lebih baik.
Di Indonesia, ijazah tingkat SMP dan SMA hanya dapat digunakan untuk melamar pekerjaan menjadi penjaga toko atau pegawai pabrik dengan upah yang pas-pasan. Bayaran yang seadanya itu, hanya dapat digunakan oleh mereka untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Seringkali bahkan tak cukup untuk memenuhi “sandang, papan, pangan” yang layak. Apalagi untuk diinvestasikan pada pendidikan formal maupun informal yang dapat mendukung kreativitas mereka, sudah pasti tidak ada sisa.
Akibatnya mereka menjadi kesulitan untuk menyeimbangkan perekonomiannya. Minimnya skill dan kreativitas, menjadikan individu dengan kelas ekonomi dan pendidikan yang rendah terjebak dalam siklus tersebut secara berulang-ulang. Mereka tak mampu menyelamatkan dirinya sendiri dari kungkungan sistem kapitalisasi.
Perbedaan akses terhadap fasilitas publik oleh kelas atas dan kelas bawah tak hanya dirasakan pada sektor pendidikan. Ketidakberuntungan yang sama terjadi pula di sektor-sektor lain.
Pembangunan yang belum merata di Indonesia, menjadikan masyarakat yang tinggal di pesisir, pucuk gunung, serta daerah pedalaman memiliki akses yang terbatas terhadap berbagai layanan publik, baik perpustakaan hingga fasilitas kesehatan. Sedangkan, masyarakat kelas atas yang tinggal di pusat kota memiliki akses yang lebih mudah karena pembangunan yang lebih pesat.
Jika dilihat dengan asas sosialisme, setiap individu seharusnya memiliki hak yang sama untuk mendapatkan akses dalam segala sektor. Masyarakat kelas bawah juga berhak untuk memiliki perlakuan dan kesempatan yang sama dalam mendapatkan pendidikan, pekerjaan hingga fasilitas kesehatan yang layak.
Sayangnya, di era yang sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) ini, dimana dikatakan bahwa semua manusia memiliki hak yang sama atas hidup dan kesejahteraan, ketimpangan-ketimpangan tersebut justru nampak semakin nyata. Tak hanya di Indonesia, tetapi juga di belahan bumi lainnya.
Jika kesadaran pada kehidupan utopis film “In Time” mampu mendobrak batasan-batasan kelas tersebut dan membagikan “waktu” dengan setara, haruskah ada Will Sales di dunia nyata? Namun, apakah dengan merobohkan tembok-tembok pemicu konflik tersebut mampu membawa manusia terhindar dari dehumanisasi?
[Erliyana Handayanisa]
*) Ikuti Update-an terbaru kami langsung dari ponselmu. Bergabung melalui saluran WhatsApp IDEAPERS.COM klik link berikut ini https://whatsapp.com/channel/0029VaIGd9Q8V0tsJ58rsF3Q
KOMENTAR