Ilustrasi Guru Hari Ini: 'Diguyu dan 'Dipadu'? |
Setiap tahun, Hari Guru Nasional selalu dirayakan, peran “pahlawan tanpa tanda jasa” dilambungkan di mana-mana. Hanya satu hari itu, “guru” dielukan dan diingat semua peranannya. Setelahnya, di hari-hari yang lain, guru menjadi saksi bagaimana potret pendidikan di Indonesia yang timpang dan semakin memudarnya esensi “pengajaran”.
Menjadi guru pada hari ini, memiliki tantangan tersendiri. Tidak hanya karena sistem yang berubah-ubah, tetapi juga dalam menghadapi perilaku siswa.
Saat ini, ramai fenomena guru yang tidak berani menegur siswanya, meskipun sang siswa melakukan kesalahan atau tindakan hal negatif. Hal itu karena, guru takut jika nantinya harus tinggal di balik jeruji.
Ketakutan itu bermula dari kasus Supriyani, seorang guru honorer di SDN 4 Baito, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara pada (25/04/24). Ia terkena jeratan hukum yang mengharuskan dirinya ditahan pihak kejaksaan.
Kasus berawal dari tuduhan orang tua siswa kepada Supriyani setelah menemukan luka memar di bagian tubuh anaknya. Kasus ini menyita perhatian publik dan menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan, terutama rekan-rekan guru yang tergabung dalam Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang merasa bahwa kasus ini perlu mendapatkan pengawalan intensif. Terlebih, orang tua siswa tersebut merupakan anggota kepolisian setempat.
Meskipun pada kasus akhirnya, diketahui bahwa memar yang dialami siswa tersebut bukan karena mendapat kekerasan dari guru, melainkan terjatuh sendiri.
Akan tetapi setelah viralnya kejadian tersebut, para guru dari berbagai daerah merasa takut untuk menegur siswa karena khawatir tindakan tersebut masuk ke dalam kriminalitas.
Seperti halnya guru di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 1 Ngimbang di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur yang mengaku tidak berani membangunkan siswanya yang sedang tidur dikarenakan khawatir akan dipolisikan (MetroTV, 31/10/24).
Sebenarnya, kasus seperti Supriyani sudah banyak terjadi di tahun sebelumnya dan pemicunya karena masalah sepele, yaitu soal tegur-menegur. Contoh, guru Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 7 Rejang Lebong, Bengkulu, Zaharman yang harus mengikhlaskan mata sebelah kanannya buta permanen setelah diketapel oleh salah satu orang tua siswanya. Kejadian ini terjadi karena orang tua siswa tidak suka anaknya ditegur dan diberi hukuman saat ketahuan merokok di kantin sekolah pada (01/08/23).
Kasus lainnya, pada tahun 2016, seorang guru SMP Raden Rahmad, Sidoarjo, Jawa Timur bernama Muhammad Samhudi divonis enam bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun. Ia dijatuhi hukuman lantaran menegur siswa yang enggan melaksanakan sholat berjamaah.
Kasus-kasus tersebut menunjukkan bagaimana ironisnya pendidikan di masa sekarang. Guru seakan dipaksa untuk diam, hanya menyaksikan langkah-langkah siswa yang bebas, minim etika dan tabu untuk diberi pengajaran selayaknya pendidikan yang seharusnya “mendidik dan mengajarkan.”
Padahal, sudah selayaknya guru yang berlabel “digugu” dan “ditiru” menjadi figur yang dipercaya dan ditiru budi serta pengetahuannya. Jika sudah begini, lantas peran atau eksistensi dari guru itu seperti apa?
Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara pernah menyebutkan tiga poin atau trilogi yang menjadi dasar dalam dunia pendidikan. Pertama, “Ing Ngarsa Sung Tulada” yang mempunyai makna bahwa guru harus menjadi panutan dan memberikan suri tauladan terhadap siswanya. Kedua, “Ing Madya Mangun Karsa,” membangun dan merajut setiap serpihan semangat siswa. Guru diwajibkan untuk selalu membangkitkan niat, kemauan dan potensi yang dimiliki siswa.
Terakhir, “Tut Wuri Handayani,” semboyan ini menekankan para guru untuk memberi dorongan kepada siswa agar berani berjalan di depan dan bertanggung jawab. Dimana diharapkan ke depannya, para siswa bisa menjadi sosok pemimpin yang berkarakter dan berbudi luhur.
Baca Juga: Indonesia Darurat Kekerasan Pelajar
Seperti yang kita ketahui, semboyan Ki Hajar Dewantara memiliki makna yang mendalam dan relevansi yang sangat penting dalam pendidikan. Namun dalam praktiknya, cenderung dilupakan oleh orang tua siswa. Peran guru diabaikan, baik sebagai panutan, motivator serta pemberi dorongan yang justru dilontarkan laporan-laporan tidak berdasar.
Pada akhirnya, banyak guru yang merasa terancam dan tidak bisa bebas dalam menjalankan tugasnya. Guru cenderung memilih menjadi pengamat permisif, sementara siswa dibiarkan dengan kebebasannya.
Guru; Pengasuh Anak Wali Murid
Dahulu, profesi guru sangat mulia dan dihormati karena cikal bakal penerus bangsa berada di tangannya. Keberlangsungan suatu negara itu bergantung pada bagaimana cara guru mendidik muridnya. Seiring berjalannya waktu, fungsi dan peran guru perlahan bergeser.
Guru bukan lagi sebagai pendidik dan tempat gudangnya ilmu, kini hanya dianggap sebagai pengasuh anak wali murid. Kebanyakan orang tua menuntut guru untuk tidak melakukan hal-hal di luar sistem belajar-mengajar (hanya menyampaikan materi dan memberikan kuis).
Banyaknya kasus yang mendiskreditkan peran guru tak lain karena guru dianggap hanya sebagai profesi sebagaimana profesi-profesi lainnya, yang memiliki daftar tugas yang harus diselesaikan. Guru tak ubahnya pengasuh anak yang hanya boleh memberi makan, menjaga agar anak tidak jatuh serta menenangkan jika anak menangis. Di luar itu, sekalipun anak membuat kesalahan, pengasuh tidak diperkenankan untuk mengajarkan apa yang baik dan benar.
Padahal, guru tidak hanya berperan untuk menumbuhkan kecerdasan intelektual, melainkan juga kecerdasan emosional seperti pengajaran tentang etika, nilai dan moralitas. Dimana guru juga berhak untuk menegur siswanya, apabila sang siswa bertindak di luar batas.
Guru dan orang tua memiliki peran yang setara dalam hal pengajaran. Orang tua adalah guru bagi anak di rumah dan guru adalah orang tua bagi anak di sekolah. Artinya, baik orang tua maupun guru sama-sama memiliki tanggung jawab terhadap pendidikan anak.
Guru; Digugu dan Diguyu
Manifestasi “guru digugu dan dituru” seakan semakin sulit dicitrakan. Terutama karena penghormatan terhadap guru semakin memudar.
Masyarakat atau orang tua zaman sekarang cenderung lebih protektif terhadap anak. Mereka beranggapan bahwa anak tidak seharusnya ditegur dan dinasehati walaupun itu demi kebaikan anak tersebut. Dalam beberapa studi kasus, orang tua menilai tindakan disiplin yang dilakukan oleh guru bisa berdampak buruk pada psikologis anak, meskipun teguran itu bersifat wajar dan bertujuan untuk mendidik.
Kini, peran guru seperti hanya untuk diguyu (ditertawakan) dan dipadu (dipertentangkan). Apapun yang dilakukan guru, diawasi dengan tajam. Apabila guru tak mampu memberikan pengajaran yang baik, ia akan dicemooh dan ketika guru memberikan pengajaran yang “mendidik”, ia akan didisiplinkan tanpa melewati satu incipun batas.
Guna minimalisir pergeseran ini, penting bagi para pendidik untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman, memperbaharui metode pengajaran, dan menunjukkan keteladanan dalam kehidupan sehari-hari. Terutama dengan memberikan pengajaran yang mampu membukakan kesadaran tentang bagaimana seharusnya dunia pendidikan itu bekerja.
Di sisi lain, orang tua juga perlu mengingat kembali nilai luhur yang mengajarkan tentang pentingnya menghormati dan menghargai guru sebagai sosok yang tidak hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter dan nilai budi murid.
[David Setiawan]
*) Ikuti Update-an terbaru kami langsung dari ponselmu. Bergabung melalui saluran WhatsApp IDEAPERS.COM klik link berikut ini https://whatsapp.com/channel/0029VaIGd9Q8V0tsJ58rsF3Q
KOMENTAR