Dok. Istimewa |
Di sebuah dusun kecil yang terletak di kaki bukit, terdapat sebuah sekolah sederhana yang terbuat dari kayu dan beratapkan seng tua. Sekolah ini berdiri bagai benteng terakhir di tengah-tengah padang ilalang yang luas. Di sanalah, seorang guru muda bernama Lintang mengabdikan dirinya untuk mengajarkan pendidikan kepada anak-anak desa. Lintang bukanlah guru biasa. Ia datang dari kota besar dengan mimpi-mimpi besar.
Dengan semangat menggebu, ia ingin merubah nasib anak-anak desa yang sering dilupakan oleh pemerintah. Setiap pagi, Lintang berjalan kaki menapaki jalan setapak yang berliku, membawa harapan di dalam ranselnya yang usang.
Anak-anak desa menyambutnya dengan senyum dan tawa, meskipun perut mereka sering kosong dan pakaian mereka penuh tambalan. Di mata mereka, Lintang adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Di dalam kelas yang berdebu, ia mengajar dengan hati, membuka jendela dunia bagi mereka yang tak pernah melihat dunia luar.
Namun, angin politik berhembus kencang di desa itu. Pemerintah, dalam proyek ambisiusnya, memutuskan untuk menggusur sekolah tersebut demi pembangunan pabrik besar. Mereka melihat tanah desa sebagai peluang emas, tanpa memedulikan nasib anak-anak yang menanti masa depan mereka di sana.
Lintang berdiri di depan kelas pada suatu pagi, melihat wajah-wajah lugu yang tak pernah tahu bahwa dunia luar tak selalu adil. Ia tahu waktunya semakin sedikit.
Dengan suara yang gemetar, ia berkata, “Anak-anak, kita akan belajar lebih keras, lebih cepat. Kita harus mengisi hari-hari ini dengan ilmu sebanyak mungkin.”
Hari demi hari, Lintang berjuang mengajarkan mereka segala hal yang ia tahu. Matematika, bahasa, ilmu pengetahuan, hingga sejarah. Ia ingin meninggalkan jejak yang dalam, meskipun sekolah itu mungkin tak akan bertahan lama.
Setiap hari, ia menulis surat demi surat kepada pejabat pemerintah, memohon belas kasihan, memohon agar mereka melihat lebih jauh dari sekadar angka dan statistik.
Baca Juga : Puan Yang Tak Berhati
Suatu hari, datanglah utusan dari pemerintah. Mereka datang dengan seragam rapi dan senyum diplomatis. Mereka berbicara tentang kemajuan dan pembangunan, tentang lapangan kerja dan kemakmuran.
Namun, bagi Lintang, kata-kata itu tak lebih dari duri dalam daging.
“Pak, sekolah ini adalah nyawa bagi anak-anak desa. Tanpa pendidikan, mereka tak akan punya masa depan,” kata Lintang dengan suara bergetar.
Seorang pejabat menjawab dengan nada dingin, “Maaf, Pak Lintang. Kami harus memikirkan kepentingan yang lebih besar.”
Hari itu, langit tampak kelabu, seolah turut berduka. Anak-anak desa menangis, memeluk Lintang seakan tak ingin melepaskannya. Namun, Lintang tahu ia harus kuat. Ia berdiri di depan sekolah, menatap pemandangan terakhir sebelum semuanya berubah.
“Mereka bisa meruntuhkan bangunan ini, tapi mereka tak bisa meruntuhkan semangat kita,” bisik Lintang kepada anak-anaknya.
Di ujung bukit, terdengar suara alat berat mulai bekerja. Namun, di hati Lintang dan anak-anak desa, terukir tekad yang tak akan pernah pudar. Mereka berjanji untuk terus belajar, untuk terus bermimpi, meski dunia tak selalu berpihak pada mereka.
Hari-hari berlalu, sekolah itu kini hanya tinggal kenangan. Namun, Lintang tetap tinggal di desa, mengajar di bawah pohon rindang, melawan ketidakadilan dengan cara yang paling indah dengan ilmu pengetahuan. Di tengah kegelapan, ia tetap menjadi cahaya, menerangi jalan bagi mereka yang masih berharap. [Andra Yudistira Haryanto]
KOMENTAR