Demonstrasi pada Hari Buruh, menolak RUU Cipta Kerja Ketenagakerjaan (Foto: Istimewa) |
Gerakan demonstrasi pada peringatan Hari Buruh Internasional masih menaruh keprihatinan. Setiap tahun, tepatnya pada 1 Mei atau disebut dengan May Day, para buruh Indonesia melakukan unjuk rasa besar-besaran dan berorasi untuk mendapatkan keadilan dan hak miliknya dari pemerintah.
Mereka selalu membawa tuntutan kesejahteraan sebagai pendamping harapan untuk meraih perhatian pemerintah. Namun, berbagai poin tuntutan dari para buruh bagaikan angin yang datang kemudian berlalu. Pasalnya, pemerintah tak jarang hanya menampung aspirasi para buruh tanpa banyak mengeksekusi.
Berikut beberapa tuntutan buruh dari masa ke masa yang belum direalisasikan oleh pemerintah dan menjadi tuntutan yang masif dibawa setiap tahun dalam unjuk rasa Hari Huruh Internasional.
1. Menolak Omnibus Law Tentang Ketenagakerjaan
Periode kedua pada masa kepemimpinan presiden Joko Widodo sempat ramai akan ditetapkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (RUU Ciptaker) sebagai RUU prioritas pada program Legislasi Nasional tahun 2020. RUU tersebut banyak yang menolak dari mahasiswa hingga masyarakat, dari kalangan atas hingga bawah. Namun pihak DPR tetap mengesahkannya menjadi Undang-Undang (UU) pada rapat paripurna, Selasa (05/10/2020).
Salah satu pihak yang merasa dirugikan ialah para buruh. Bahkan setelah disahkan hingga sekarang mereka terus menolak dan berharap pihak pemerintah mendengar aspirasi mereka setiap demontrasi May Day. Para buruh ingin dicabutnya UU No.6 tahun 2020 tentang ketenagakerjaan.
Melansir Hukumonline.com, Said Iqbal, sebagai Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyatakan, UU omnibus law ciptaker berpotensi menciptakan penurunan terhadap kesejahteraan buruh seluruh Indonesia. Ada sekitar enam dampak buruk bagi buruh diantaranya, pertama, mengganti upah minimun menjadi upah per jam. Sehingga bisa menyebabkan adanya upah di bawah minimum.
Kedua, menghilangkan pesangon. Mereka melihat adanya unsur pemangkasan pesangon menjadi tunjungan PHK dalam upah selama enam bulan. Ketiga, adanya perluasan fleksibilitas pasar kerja yang berpengaruh pada ketidakpastian kerja serta pengangkatan status pekerja menjadi karyawan. Keempat, tidak adanya jaminan sosial dan pensiun. Kelima, membuka peluang baru pada tenaga kerja asing (TKA) tanpa skill. Terakhir, menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha. Hal tersebut berdampak ketika pengusaha tidak memenuhi hak buruh karena tidak merasa adanya efek jera.
Tuntutan pemerintah untuk mencabut omnibus law pada klaster ketenagakerjaan terus dibawa sejak disahkan pada 2020 hingga 2024, menjelang unjuk rasa May Day. Pada Rabu, 1 Mei 2024, para buruh menaruh harapan besar kepada presiden baru, Prabowo Subianto agar mendengarkan tuntutan tersebut.
Baca Juga: Peringatan Hari Buruh Masih Sebatas Seremonial
2. Menolak Upah Murah
Tuntutun selanjutnya terkait penolakan para buruh terhadap upah murah. Entah pemerintah telah mengabulkannya atau tidak. Nyatanya, sejak unjuk rasa tahun 2019 tuntutan tersebut terus disebutkan di tahun 2021, 2022 dan 2024.
Melansir di CNBC Indonesia, salah satu upah murah berdampak dari masifnya perusahaan Indonesia yang melakukan PHK kepada karyawan tetap lalu digantikan oleh karyawan outsourcing dengan upah murah. Said Iqbal juga menegaskan kenaikan upah selalu berada di bawah inflasi.
Misalnya, pertumbuhan ekonomi di Indonesia mencapai 5 persen namun kenaikan upah hanya sekitar 1,5 persen. Sedangkan, nilai inflasi 2024 mencapai 2,8. Penolakan upah murah menjadi poin utama kedua setelah tuntutan penghapusan omnibus law ciptaker terhadap ketenagakerjaan pada May Day pada 2024. Sehingga tahun ini, mereka akan menyuarakan “Hapus OutSourcing Tolak Upah Murah” atau HOSTUM.
Kedua tuntutan tersebut selalu menjadi poin yang tak pernah absen dalam demontrasi Hari Buruh sejak ditetapkan omnibus law hingga kini. Dan mungkin masih akan terus digaungkan dalam MayDay MayDay selanjutnya, apabila pemerintah belum juga memberikan apa yang dituntut.
[Ayu Sugiarti]
KOMENTAR