![]() |
- Ilustrasi bencana alam banjir (Sumber : iStock) |
Hari-hari ini kita menyaksikan banyak orang di sejumlah daerah di Indonesia yang dirundung nestapa dan mengalami kesulitan akibat terjangan bencana alam. Di beranda media sosial, kita disuguhkan dengan berbagai video banjir dan tanah longsor yang merugikan kawan-kawan kita. Jalanan tergenang air, rumah-rumah rusak, dan korban jiwa berjatuhan. Peristiwa akhir-akhir ini seolah-olah menunjukkan alam sedang marah kepada manusia.
Indonesia dihadapkan dengan cuaca ekstrem yang memicu terjadinya bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor. Sejumlah daerah mengalami situasi yang memprihatinkan ini, di mana bencana membawa kerugian materi, kesehatan, dan dampak psikologis pada manusia.
Salah satu daerah terparah yaitu Kota Semarang, Jawa Tengah yang dikepung banjir sejak Rabu (13/3/2024) akibat cuaca ekstrem beberapa hari. Banjir merendam hampir seluruh ruas jalan di kota ini dan melumpuhkan aktivitas warga. Perumahan warga yang tergenang air membuat sebanyak 158.137 jiwa harus mengungsi, (Antaranews.com, 15/3/2024). Selain itu banjir juga merusak fasilitas publik dan membawa kerugian.
Sementara di Kabupaten Demak, banjir disebabkan oleh sejumlah tanggul sungai yang jebol karena tidak kuat menahan debit air yang tinggi saat hujan. Per Sabtu (16/3/2024), banjir berdampak pada 75.004 warga dari 22.464 keluarga. Selain itu, terdapat 4.244 warga yang mengungsi. Banjir juga membuat 2.907 hektar sawah terendam serta menggenangi 78 sarana ibadah, 11 fasilitas kesehatan, 39 sarana pendidikan, dan 11 sarana kantor, (Kompas.id, 17/3/2024).
Bencana Menurut Kaum Sufi
Selain di daerah tersebut, masih banyak bencana alam yang terjadi di daerah lain di Indonesia. Kondisi ini menimbulkan rasa sedih sekaligus prihatin bagi kita semua. Kesedihan begitu mendalam pasti dirasakan terutama oleh kawan-kawan kita yang menjadi korban bencana alam ini.
Baca Juga : 4 Golongan Manusia Menurut Imam Al-Ghazali
Banyak yang harus dikorbankan karena bencana yang di luar kehendak ini. Mulai dari tempat tinggal, benda-benda berharga, bahkan nyawa orang yang mereka cintai. Tidak sedikit kawan kita yang merasa terpuruk dan hampir putus asa karena dihantui rasa ketidakberdayaan untuk bangkit. Bahkan dalam kondisi ini, banyak yang mempertanyakan keadilan Tuhan.
Syekh Abdul Qadir al Jilani, ulama sufi yang masyhur itu menyikapi bencana dengan perspektif berbeda. Bencana bukan dianggap sebagai azab atau murka Tuhan kepada manusia, melainkan sebagai ujian atau cobaan keimanan. Tuhan ingin melihat sejauh mana tingkat keimanan hamba-Nya. Apakah semakin dekat atau justru malah semakin jauh.
Seringkali pula bencana juga menjadi ajang menyalahkan dan mengkambinghitamkan orang lain. Namun barangkali yang perlu dikoreksi ialah diri kita sendiri. Syekh Abdul Qadir mengingatkan kita untuk melakukan introspeksi terhadap kesalahan diri sendiri. Cobaan dalam hidup menjadi bahan evaluasi dan perbaikan ke depannya
Sementara itu, Al-Ghazali tokoh sufi lainnya memandang bencana sebagai sesuatu hal yang harus disikapi dengan kesabaran. Menurut penulis kitab Ihya Ulumuddin itu, dalam menghadapi ujian, kita harus sabar. Menurutnya, sabar akan membawa kita pada obat dari kesakitan yang muncul karena ujian itu sendiri.
Dari sini, Al-Ghazali mengingatkan kita bahwa dalam setiap ujian, seperti halnya bencana, akan selalu ada hikmah dan pelajaran di baliknya. Selalu ada sisi positif di balik setiap masalah yang terjadi. Jika kita bersabar dan mampu melewati bencama dengan baik, niscaya kita akan mendapatkan pelajaran dan nilai positif di sisi lain.
Bencana Sebagai Pengingat Manusia
Berbagai rentenan peristiwa bencana yang terjadi di Indonesia hari-hari ini mencoba mengingatkan manusia untuk menyadari keberadaan Tuhan. Manusia tidak boleh lupa bahwa ada entitas tertinggi dalam kehidupan. Sehingga manusia dalam bersikap, tidak boleh semena-mena dan harus memperhatikan lingkungan sekitar.
Baca Juga : Bencana dan Islam Sontoloyo Soekarno
Tuhan menciptakan manusia di bumi sebagai khalifatu fil ard, yang artinya kita memiliki tanggung jawab untuk mengelola alam secara bertanggung jawab. Dalam hal ini manusia memiliki peran sebagai tuan yang memiliki hak untuk mengelola alam sekaligus bertanggung jawab sebagai pelindung bagi alam itu sendiri.
F. Meier, pengamat sufi menyebutkan bagaimana sufi melihat alam sebagai representasi dari Tuhan. Dalam sudut pandang seorang sufi, alam tidak hanya menjadi objek mati yang tidak memiliki perasaan. Seorang sufi akan menempatkan alam sebagai subjek yang juga memiliki rasa cinta dan berhak dijaga. Hal inilah yang akan menimbulkan adanya hubungan timbal balik antara manusia dan alam.
Dengan cara pandang demikian kita akan melihat diri kita sebagai mikrokosmos dan alam sebagai maksrokosmos. Dimana kita akan melihat setiap bagian dari alam adalah bentuk manifestasi Tuhan di muka bumi. Sehingga kita memberikan perlakuan sebagaimana ketika memperlakukan makhluk hidup yang memiliki perasaan.
[Zaqia Ulfa]
KOMENTAR