(Sumber: dsb.edu.in) |
John McCarthy, seorang profesor sains komputer asal Inggris pada tahun 1956 telah mengatakan bahwa:
Pembuatan AI pada dasarnya untuk mengetahui dan membuat macam-macam model berpikir manusia, mendesain mesin agar dapat menirukan perilaku manusia. Perilaku manusia yang ditiru memasuki ranah kecerdasan yang berarti memiliki pengetahuan ditambah pengalaman, penalaran, hingga moral yang baik. Manusia yang cerdas dalam menyelesaikan permasalahan dikarenakan ia memiliki pengetahuan dan pengalaman. Pengetahuan diperoleh melalui belajar.
Secara historis, AI pertama di dunia berawal dari pengembangan ilmu matematika pada tahun 1936 yang dikenal dengan Mesin Turing (Turing Machine). Mesin Turing ditemukan oleh Alan Turing, John McCarthy, Marvin Minsky, dkk. Mesin Turing dibuat dengan tujuan untuk memecahkan kode tertentu (enigma code) ketika Perang Dunia II antara sekutu dan Jerman.
Selanjutnya, pada tahun 1950, pengembangan AI menghasilkan komputer digital yang berisi bahasa-bahasa pemograman. Hingga saat ini, bentuk AI yang dapat kita nikmati berupa search engine seperti Google, atau platform media sosial seperti YouTube, TikTok, instagram, hingga aplikasi chatGPT, AI chatbot, dsb.
Banyak hal yang dianggap sulit bagi kecerdasan manusia, tetapi tidak sulit bagi AI, seperti permainan catur. Jika kita kontekstualisasikan dengan keadaan sekarang, bahkan untuk mendesain suatu gambar atau infografis, tidak perlu memiliki kemampuan mengenai bentuk visual, campuran warna, atau bentuk tulisan dalam menuangkan ide yang dimiliki. Cukup membuka aplikasi desain yang gratis atau berbayar dan dapat ditemukan pilihan templet desain yang dibutuhkan.
Dalam hal lain, penggunaan AI untuk memudahkan urusan juga berdampak pada permasalahan berpikir kritis (critical thinking) dan permasalahan moral. Penggunaan AI bot atau chatGPT dalam membuat narasi atau mengonsepkan sesuatu sudah tidak lagi otentik dari pikiran manusia. Melihat realita yang seperti ini, lalu timbul pertanyaan, apakah pendidikan masih diperlukan? Bukankah dengan kecakapan penggunaan AI saja sudah cukup sebagai bekal hidup?
Sejatinya, meminjam istilah paideia pada zaman Yunani Klasik, untuk mengupayakan dan menjadi manusia yang ideal dapat ditempuh melalui sistem pendidikan dengan visi dan tujuan yang jelas. Manusia ideal dalam pandangan Yunani Klasik ialah manusia yang mampu menyelaraskan jiwa dan badan hingga mencapai kebahagiaan (eudaimonia) dan hidup yang baik (well-being).
Pendidikan adalah usaha terpadu untuk memanusiakan manusia muda, membentuk karakter yang berkeutamaan (virtue), terpandang karena memiliki kebajikan (arete), dan memiliki budaya intelektual. Dengan kata lain, pendidikan pada dasarnya proses humanisasi yang menjadikan seseorang menjadi lebih manusiawi.
Jika mengartikan pendidikan hanya dapat ditempuh melalui sekolah formal seperti SD, SMP, SMA lalu lanjut ke Perguruan Tinggi, tentu saja ini bukan yang dimaksud oleh paidea. Pendidikan yang mampu membuat manusia lebih manusiawi sejatinya berpijak pada nilai keutamaan dan kebajikan. Bahkan, dalam satu semester menempuh 20-24 SKS yang dianggap sebagai proses belajar, tetapi tidak pernah tau tujuan ia belajar, hal itu tidak bisa dikatakan sebagai pendidikan. Kelompok seperti inilah yang rawan akan tergerus dan kalah oleh AI.
Ada beberapa hal yang membedakan dan membuat AI lebih unggul dibanding manusia. Pada dasarnya, AI merupakan cabang ilmu komputer yang berbasis pada penalaran. Berbagai macam pengetahuan dikumpulkan dan dimasukkan pada mesin (collecting data), kemudian olah data (processing data) melalui bahasa pemograman.
Dapat diakui, hingga proses olah data, kemampuan berfikir manusia yang dianggap konvensional belum mampu mengungguli AI. Sebagai contoh bentuk AI yang paling sederhana adalah kalkulator. Untuk menjumlahkan hasil perkalian tiga digit dengan angka yang berbeda, tentu saja sebagian besar orang akan kalah cepat dibanding kalkulator. Begitu juga dengan hafalan teori ketika belajar. Seperti DoNotPay, sebuah robot pengacara di Inggris yang telah digunakan pada tahun 2022 dalam membantu persidangan.
Baca Juga: Peluang Kerja dan Bayang-Bayang Kecemasan Dunia AI
Tidak menutup kemungkinan hal seperti ini merambah pada aspek kehidupan yang lain, seperti robot pendeta, robot dokter, atau robot dosen. Sudah tidak jarang ditemukan perdebatan mengenai pekerjaan yang akan tersisihkan karena kecanggihan AI yang melampaui manusia. Namun sekali lagi, jika pendidikan hanya untuk formal mendapat gelar agar bisa bekerja, AI pun sudah bisa mengganti peranan manusia.
Namun, terdapat hal-hal fundamental pada manusia yang tidak bisa dikalahkan oleh AI. Pertama, penggalian makna. Untuk sampai pada ranah makna, esensi, maupun hakikat akan sesuatu, tidak dapat ditempuh hanya pengumpulan data dan olah data yang dapat dilakukan oleh AI.
Kedua, menemukan jati diri, menyadari dan mengembangkan potensi yang dimiliki. Secanggih apapun AI yang dibuat oleh manusia, ia tidak memiliki ranah kesadaran (consciousness). Memaknai kehidupan sebagai pembuktian eksistensi diri pun tidak semua orang memiliki kemampuan akan hal ini. Menurut Jean Paul Sartre, manusia seharusnya mampu menolak untuk didefinisikan.
Ketiga, membentuk hati nurani. Meskipun AI dimasukkan pengetahuan melalui bahasa pemprograman mengenai baik-buruk, benar-salah, sopan- tidak sopan akan sesuatu, tetapi ia hanya mampu sampai pada dikotomi pemograman. AI tidak memiliki pertimbangan moralitas yang berkaitan dengan hati nurani, karena hal ini hanya dimiliki oleh manusia. Walaupun pada kenyataannya, banyak manusia yang tidak lagi mempertimbangkan hati nurani dalam pengambilan keputusan.
Keempat, memiliki emosi dan mampu mengekspresikan perasaan. Akan timbul permasalahan yang teramat besar jika AI sudah memiliki kecanggihan hingga tahapan emosi dan pertimbangan moral. Pesawat tanpa awak (drone) yang digunakan Ukraina untuk menyerang Rusia masih dikendalikan oleh manusia. Tidak sulit untuk dibayangkan dampak yang terjadi jika drone dalam kendali penuh oleh AI.
Pencapaian hal-hal fundamental yang dapat dilakukan manusia untuk hidup berdampingan dengan AI dapat ditempuh melalui pendidikan. Dalam pendidikan, terdapat upaya untuk membentuk manusia utuh yang ideal yang berpijak pada virtue dan arete. Pendidikan seharusnya mampu mengasah kemampuan berfikir manusia semakin kritis guna memahami realitas diri, sosial, dan dunia.
Melalui pendidikan, manusia mampu menerapkan apa yang diketahui, dipahami, hingga, diterapkan secara praktis dalam menghadapi permasalahan yang dihadapi. Sampai disini, pendidikan membuat manusia setara dengan AI. Namun, kita tidak berhenti sampai di situ. Pada dasarnya, melalui pendidikan, manusia mampu menjadi otentik, orisinal, mandiri, dan berpegang pada prinsip dalam memaknai kehidupan dan berkesistensi hingga tidak mudah digoyahkan oleh berbagai kepentingan dan desakan dunia luar.
Pembentukan manusia yang utuh dan ideal menuntut adanya pemahaman atas dimensi-dimensi yang ada dalam diri manusia. Dengan menempuh pendidikan, ikut berorganisasi, terlibat dalam unit kegiatan mahasiswa, akan membantu menstimulasi untuk terus belajar dan memaknai setiap peristiwa dan pengalaman hidup.
Jika manusia hanya ikut arus atau tren, tidak mampu menemukan dimensi lain yang ada pada dalam diri, sama halnya dengan AI yang bersifat satu dimensi. Seluruh upaya pendidikan diarahkan pada pengembangan kepribadian yang mencakup pengolahan pikiran atau penalaran, pengolahan rasa atau psyche, pengolahan cipta dan karya. Dengan kata lain, seluruh proses pendidikan yang dilakukan manusia ditujukan pada pengembangan pengetahuan, pemahaman, penanaman, dan penerapan nilai kebenaran, keindahan, kebaikan, dan kebajikan yang menjadi esensi dalam pendidikan.
Tri Utami Oktafiani
Dosen Filsafat UIN Walisongo Semarang
KOMENTAR