Dokumentasi Pexels.com |
Sesapan Hot Americano yang ku minum barusan masih pekat oleh indra pengecap. ini yang aku suka, seolah rasa uniknya yang pahit mewakilkan perasaan yang karuan oleh gamang, rindu, dan kesepian. sepertinya perutku sedang tak mengindahkan kafein, mungkin karena belakangan aku seduh rutin.
Terbayang diriku yang dulu, wah seberapa banyak kah perubahan ku? apakah kentara oleh diluar dari diriku? apakah baru sekedar pola pikirku? sejak dulu aku mengagumi visual dalam benak, yah berkhayal dan melamun. Makin dewasa aku memperbaiki pola pikir yang akan mengancam nalar, itulah mengapa aku menyukai buku, film, untuk merefleksikan diri. karena hidup yang hanya mengikuti arus terasa mimpi buruk.
Aku menghargai diriku sendiri oleh pikiranku sendiri. pikiranku memang tidak selalu benar, dan tak jarang salah telak. untuk melalui itu semua pengalaman menjadi jam terbang tersendiri. pengalaman tidak bisa hanya berdiam diri, merenung, membaca buku, menonton film. hal itu menyangkut segala aspek. kehidupan itu hitam dan putih, bukan berarti hidup itu kelam dan cerah, namun tentang filosofis timbal-balik. Seperti manusia yang mengagungkan kebahagian. aku tak ingin terdoktrin oleh buaian kebahagian, aku harus memahami juga hal sebaliknya ke-tidakmenyenangkan-an yang berupa kesedihan, ketakutan, kesepian, supaya pemahaman atas pengalaman menjadi seimbang, menjadi balence. Demi memanusiakan diri sendiri. Aku tidak seharusnya beg---
"La! Lana! nyawamu masih di sini kan?" sebuah tamparan dilengan membuatku tersintak. Menarik ke eksistensi diriku yang sebenernya.
Aku hanya bisa menarik garis senyum menyebalkan milikku. "Eh maaf Ran, otakku blank tadi hihi," balasku menyengir.
Lawan bicaraku kebingungan dengan reaksiku beberapa saat. Mungkin Ia berfikir aku marah, saat ku diamkan. Aku bahkan lupa berapa lama membuat Ranti terabaikan sambil berbicara seorang diri.
Selalu saja begini. Aku tidak berdaya untuk membuat orang memahami. Aku terlalu bergairah untuk mengisi bilik-bilik refleksi yang tak berkesudahan. Sampai aku lupa hidup itu adalah praktis, hidup juga tindakan. Manusia yang punya keniscayaan atas sosial di sekitarku.
Aku sedih tak bisa menjelaskan ke Ranti atas lintasan benakku. Yang ku fikirkan adalah kemungkinan aku akan tidak diterima karena menyusahkan hidup orang lain. Bagiku diriku ini waras, tidak tahu apakah orang lain setuju itu.
Mudah hanya untuk sekedar hidup. Aku hanya perlu melihat dan memahami. Seperti sekarang, aku dengan bijaknya menjawab keluhan-keluhan pribadi yang Ranti ucapkan. Ku beri wejangan yang pas. Membuatnya lebih senang dan tenang. Ia tampak tersenyum dan bersyukur. Berbeda denganku, aku tersenyum rata dan merasa munafik.
"Ranti aku bayar minuman kita dulu ya!" ujarku tanpa menunggu jawaban. Bahkan langkah kakuku menuju kasir sudah memuat sepersekian persen otakku teralihkan pada lamunan.
Aku merasa biasa saja. [Rizka]
KOMENTAR