Semakin meluasnya kesempatan untuk dikenal dan diorangkan melalui dunia jaringan membuat semua orang menjadi berlomba-lomba untuk menampakkan dirinya lebih dari yang lain. Salah satunya yang menjadi fenomena ialah parade labelisasi "hero" (pahlawan) bagi orang-orang di sekitarnya.
Di Indonesia sepertinya sudah menjadi sebuah kewajaran ketika para content creator di media sosial membuat konten dengan melabelisasi dirinya sebagai seorang pahlawan. Membagikan uang hingga menghadiahi barang-barang bernilai tinggi untuk orang yang ditemui di jalanan, tak luput membawa serta mata-mata kamera yang mengikuti raut penuh haru dan ribuan ucapan terimakasih.
Lucunya, konten-konten seperti ini menjadi begitu viral dan dibagikan berulang kali. Seperti memberi sebuah pesan bahwa negeri ini sesak oleh manusia-manusia menderita dan tidak mampu meraih kebahagiaan. Ribuan terimakasih serta ungkapan kagum dilempar begitu saja pada si pembuat konten. Dan seketika dijadikan sebagai sosok pahlawan yang pantas dibela dan "diorangkan".
Sosok pahlawan di negeri ini berganti wajah dengan mereka yang paling banyak memberi dan mengasihani orang lain.
Sayangnya, akibat dari meluapnya orang-orang yang menginginkan dilabeli sebagai pahlawan, menarik serta masyarakat yang memiskinkan dirinya demi sebuah "bantuan". Ketika dahulu orang lebih memilih untuk menutup rapat kesusahannya dan berjuang sekuat tenaga untuk keluar dari penderitaan, kini berganti menempel stempel di mata-mata mereka dengan pesan "saya minta dibantu".
Aksi kepahlawanan menjadi begitu erotis dengan menampakkan orang-orangnya yang tak berbusana. Tanpa rasa malu meminta pada orang lain serta bertumpu tangan pada belas kasihan. Pun si pahlawan itu, yang tanpa ragu membesarkan dirinya dengan mempertontonkan kekayaan.
Pahlawan, menjelma tradisi yang dipekerjakan. Pahlawan bukan lagi bagaimana seseorang membudaya dalam nilai kehidupan, tetapi berubah menjadi pekerjaan yang mampu menghasilkan dan memberi untung.
Ya, bukan menjadi rahasia ketika konten-konten yang di-upload di media sosial memberikan benefit bagi si pembuatnya. Ketika minat publik pada aksi kepahlawanan menggelembung, pembuat konten akan semakin tertantang untuk membuat lagi dan lagi. Dan tentunya, juga berefek pada finansial dan penokohan dirinya.
Ketika fenomena profesi kepahlawanan menjadi sporadis, ungkapan belas kasihan tidak hanya meraung di tengah orang-orang yang menjadi "peminta", tetapi juga membuat si produsen konten menjadi mengemis untuk diberi label dan dijuluki sebagai pahlawan.
Komersialisasi Pahlawan
Semakin meningkatnya minat masyarakat pada aksi heroisme, serta keuntungan yang nampak, membuat banyak orang menginginkan melakukan hal yang sama. Menjadi pahlawan adalah pekerjaan yang menjanjikan. Tidak peduli akan nilai dan esensi dari yang dijalankan, ketika itu menguntungkan, seakan menjadi wajar saja untuk dilakukan.
Dalam melakoni sebuah pekerjaan, kita dituntut untuk menggunakan kecerdasan yang kita miliki. Baik kecerdasan nalar (IQ) maupun kecerdasan emosi (EQ).
Kecerdasan IQ diandalkan untuk mengukur apa yang diketahui dan seberapa cepat seseorang mampu memecahkan masalah menggunakan penalaran.
Tetapi kecerdasan IQ saja tidak tidak selalu menjadi penentu keberhasilan dan kesuksesan seseorang di dalam hidupnya.
Diperlukan keterampilan yang lebih luas, seperti mengenali dan mengatur emosi, serta menggunakan kecerdasan sosial dalam pemecahan masalah. Kecerdasan emosi juga membantu kita memaknai pengalaman dalam menjalankan sebuah pekerjaan.
Di dalam kehidupan yang terperangkap jaring-jaring informasi, kita sudah dan masih dihadapkan pada badai Fear Of Missing Out (FoMO). Fenomena ini ramai diperbincangkan oleh para pakar kesehatan mental, karena membentuk pola perilaku dari yang mengalami menjadi selalu merasa khawatir berlebihan dan merasakan ketakutan akan tertinggal tren yang sedang berlangsung.
Lihat saja bagaimana saat ini manusia semakin tidak memiliki keunikan rupa. Ketika menengok internet dan bilik-bilik media sosial, selalu saja menampilkan hal yang sama. Mulai dari pembicaraan, tren konten, hingga model "cara hidup". Manusia-manusia di media sosial berubah menjadi manusia dengan satu wajah.
Ruang yang begitu besar memberikan kesempatan bagi semua orang untuk mendapatkan hal yang sama. Media sosial menawarkan kepopuleran dan kebesaran nama. Semakin banyak angka yang menjadi pengikut di akunnya semakin besar namanya.
Erotisme dalam kepahlawanan hanya salah satu dari deretan pekerjaan yang sangat mengutamakan nama dan benefit yang didapatkan.
Di negeri ini, orang-orang sudah terbiasa berlomba untuk menempati status quo dalam sebuah pekerjaan. Sebuah profesi yang dikenal dan diabadikan. Meskipun di dalamnya belum tentu memuat nilai religiusitas dalam bekerja.
Menyisipkan nilai spiritual dalam sebuah pekerjaan menjadi penting karena sebagai alarm kebersyukuran kita pada sang Illahi. Dengan daya, cipta, dan karsa yang diberikan kita mampu melakukan tindakan yang menghidupi diri kita dan sekitarnya.
Selain itu, membumbui pekerjaan dengan spiritualitas juga menambah efek bahagia dengan setiap tindak dan tanduk yang dijalankan.
Sebuah pekerjaan, apapun bentuknya, menjadi pintu untuk mencapai kesejatian diri. Bagaimana kita melakonkan pekerjaan itu hingga cara-cara yang kita gunakan untuk mencapai titik "bahagia" dalam hidup. Mengamini sebuah pekerjaan, sebentuk cara untuk menjadi manusia yang hidup, dan menghidupi. [Ainun]
KOMENTAR