Manusia dilahirkan dalam keadaan untuk selalu membutuhkan hubungan dengan orang lain. Pada dasarnya manusia tidak bisa hidup sendirian, walaupun mungkin dalam kasus yang sangat jarang, manusia benar-benar hidup sendirian. Akan tetapi itu pun tidak seumur hidupnya, hanya pada momen-momen tertentu saja.
Kemudian, apakah kita pernah menanyakan, kenapa manusia dijadikan oleh Tuhan sebagai makhluk sosial yang perlu berhubungan satu dengan yang lain? Bukankah Tuhan sendiri yang sudah mengatakan bahwa manusia adalah makhluknya yang paling sempurna?
Salah satu tokoh psikologi, Alferd Adler memberikan penjelasannya mengenai kehidupan sosial manusia. Menurutnya, manusia memiliki motivasi serta dorongan untuk membangun hubungan diri dengan orang lain. Termasuk mengembangkan hidup yang berorientasi pada kesejahteraan bersama.
Adler menjelaskan bahwa setiap manusia, memiliki keunikan personalnya masing-masing. Biasanya, ciri khas ini sudah ada atau dibawa dari lahir. Kemudian, ketika bersinggungan dengan lingkungannya, manusia mengembangkan dirinya dengan berdialektika dengan segala hal yang ditemui.
Dengan sifat dasar ini, apakah dimungkinkan manusia mampu untuk menjadi individualis serta meminggirkan diri dari sosial?
Saat ini, banyak pembahasan mengenai kesehatan mental yang seringkali, menekankan tentang pentingnya mencintai diri sendiri. Salah satunya dengan cara "healing". Bahkan, karena terlalu seringnya dibahas dan diperbincangkan, "healing" seakan menjadi tren di masyarakat.
"Healing", dipahami sebagai cara untuk keluar dari tekanan dan permasalahan yang dialami. Mengasingkian diri dalam periode waktu tertentu karena merasa terbebani dengan kehidupan yang dijalani.
Konsep "healing" kemudian lebih banyak diwujudkan sebagai cara melarikan diri dari kehidupan normalnya. Sehingga pemaknaannya pun semakin bergeser. Bukan lagi "menyembuhkan" tetapi "menepikan".
Fenonena ini juga terjadi di Jepang. Di sana, banyak masyarakat yang memilih untuk menjalankan kehidupan dengan berprinsip pada konsep kehidupan jouhatsu. Memang tidak sama dengan fenomena healing yang saat ini digemari anak muda di Indonesia. Akan tetapi bagaimana jouhatsu ini dilakukan, memiliki sedikit kemiripan.
Jouhatsu sendiri mengarah pada kondisi orang-orang di jepang yang secara sengaja menghilang dari kehidupan mereka tanpa jejak. Bahkan mereka sampai membuat identitas baru agar mereka benar-benar menghilang dari kehidupannya yang dulu.
Budaya ini menjadi popular di Jepang di beberapa tahun belakangan, terutama pada tahun 2017. Ada sebanyak 85 ribu orang yang memutuskan untuk menghilang dari kehidupan modern Jepang. Bahkan, angka ini terus bertambah di setiap tahunnya.
Mantan jurnalis Jepang, Jake Adelstein memberikan pernyataan mengenai fenomena jouhatsu ini. Ia mengatakan, “Mereka di hadapkan dengan pilihan seperti bunuh diri, bekerja terlalu keras, atau menghilang dan memulai hidup baru. Jadilah menghilang opsi yang lebih baik” (tirto.id, 03/12/19).
Antisosial atau Introvert?
Banyak orang yang melegitimasi bahwa keputusan untuk menarik diri dari sosial karena kebutuhan untuk memperhatikan diri sendiri. Atau, biasanya dengan mengatasnamakan sebagai pribadi yang introvert. Akan tetapi pemahaman mengenai introvert ini seringkali dipahami sebagai sama sekali tidak "bersosial".
Namun, apakah fenomena healing dan jouhatsu itu benar-benar aktualisasi dari kepribadian introvert? Jika menilik proses yang ada, keduanya tidak benar-benar menghilang dari sosial. Masih ada, hanya berada atau menggunakan identitas yang berbeda.
Menurut pakar kesehatan mental, introvert bukanlah prilaku anti sosial. Orang introvert cenderung lebih memilih untuk menyimpan tenaga mereka untuk apa yang mereka anggap bermanfaat ketimbang menghabiskannya dengan orang lain. Tipe kepribadian ini lebih cepat terkuras energinya saat berinteraksi dengan orang banyak. Tanpa menafikan interaksi sosial.
Hal ini kemudian memiliki keselarasan dengan apa yang dijelaskan oleh Adler. Bahwa gaya hidup yang di jalani oleh manusia didasari atas dua dorongan. Di antaranya dorongan dari dalam diri yang mengatur pola perilaku seseorang. Kemudian dorongan dari lingkungan yang berkemungkinan besar dapat menambah atau menghambat arah dorongan dari dalam.
Sederhananya, manusia memang dikonsepkan untuk menjadi makhluk sosial. Hal ini kemudian didukung dengan motivasi-motivasi atas dorongan sosial. Termasuk juga dilengkapi dengan keinginan untuk mengembangkan diri dan dan membangun hubungan sosial dengan orang lain.
Selain itu, bagi Adler, manusia dilahirkan dalam keadaan inferior (lemah) yang kemudian keadaan ini menjadi dorongan manusia untuk kemudian menjadi superior. Sebagai makhluk sosial, maka proses pembentukan superioritas tidak bisa dipisahkan dengan hubungan antar manusia.
Bagaimanapun, manusia membutuhkan orang lain untuk dapat berkembang. Secara langsung atau tidak, meskipun kemudian proses perkembangan prilaku sosial dari seseorang membutuhkan waktu serta usaha yang berkesinambungan. [Fajar Falahuddin]
KOMENTAR