Hal lumrah seperti berpikir positif atau positive thinking saat ini banyak menjadi perbincangan terutama pada anak muda. Hal ini tidak terlepas dari meningkatnya pembahasan mengenai mental health issus. Dalam obrolan sehari-hari maupun mendia sosial seperti Tik-tok, Youtube, Instragram dan lain sebagainya banyak membahas mengenai cara dan konsep berpikir positif. Biasanya terjadi saat kita sedang berkeluh kesah ataupun menghadapi masalah, seseoarang akan memberikan dukungan untuk tetap berpikir positif.
Berpikir positif memang memiliki beberapa manfaat, namun terkadang bisa menjadi boomerang. Jika berpikir positif digunakan secara berlebihan dan tidak pada konteks permasalahannya. Hal tersebut hanya akan menjadi sebuah kalimat penenang, namun membuat seseorang menyangkal emosinya atau yang disebut toxic positivity.
Keadaan semacam ini seringkali kita alami, namun jarang kita menyadarinya. Contohnya, kita lima kali mengajukan judul skipsi tetapi belum juga diterima atau kita mengulang kelas yang sama tahun depan. Kemudian salah satu teman kita menanggapi "Ambil baiknya aja, banyak yang lebih kesulitan daripada kamu" atau "Yakin deh, nanti juga kelas barunya lebih seru".
Kalimat dukungan atau bernilai positif tersebut seakan menjadi bentuk dukungan maupun pengertian keadaan kita. Namun sebenarnya kalimat tersebut justru tidak memberikan penilaian maupun solusi dari permasalahan yang ada. Hanya akan membuat kita terbuai dan berpura-pura terlihat baik-baik saja.
Keadaan toxic positivity tidak selalu berasal dari orang lain, tetapi juga dari dalam diri kita sendiri. Misalnya dengan kita mengeneralisir semua keadaan ataupun permasalahan dengan selalu berpikir positif. Tanpa mempertimbangakan aspek yang lain seperti seberapa urgensi, resiko dan lain sebagainya dalam mengambil keputusan.
Bukan Problem Solving
Efek dari toxic positivity membuat seseorang menekan emosi atau perasaan sesungguhnya yang dirasakan. Seseorang menyembunyikan emosi buruknya dengan menampakan persona lain kepada orang lain. Namun yang sedang dilakukannya adalah penyangkalan dari keadaan yang sebenarnya terjadi dengan terlihat baik-baik saja.
Jika pola pikir seperti di atas terus terjadi, akan menjadi boom waktu. Pada tahun 2020, penelitian menunjukkan dari 29 studi KDRT menemukan, bias positif menyebabkan seseorang mengalami pelecehan karena meremehkan tindakan kasar pasangan dan memilih bertahan dalam hubungan. Alasan seseorang bertahan karena adanya optimisme dan harapan bahwa pelakunya akan lebih baik.
Berpikir positif demikian tentu saja bukanlah sebuah solusi dari permasalahan, sama halnya dengan memupuk masalah. Padahal dalam hidup, kita menemukan kejadian buruk atau menyedihkan hal yang wajar.
Mengakui emosi dan mengungkapnya terkadang menjadi hal penting untuk kita lakukan. Sama halnya dengan membebaskan kita dari penindasan tekanan kebenaran, dan bersikap realistis dengan apa yang dirasakan. Pasalnya kita perlu menerima beragam pengalaman apa adanya demi mencapai kehidupan emosional yang seimbang.
Menjadi hal yang wajar bila dalam situasi tertekan kita marah, takut dan sedih atau saat dihianati kita merasa kecewa. Kita bisa ekspresikan emosi yang dirasakan dan mengatur bagaimana kita mengontrolnya.
Begitu pun saat menerima bentuk saran dari orang lain. Terkadang kita tidak bisa menganggap saran sebagai sebuah kebenaran. Kita perlu mempertimbangkannya kembali, apakah ia mengetahui benar benar permasalahan kita? apakah saran tersebut menjadi jalan keluar dari permasalahan atau hanya bentuk pembenaran dari problem yang sedang dihadapi.
Seringkali secara tidak sadar, saat kita menemui masalah justru kita menghindar untuk mencari problem solving. Kita lebih sering mencari afirmasi terhadap permasalahan yang kita hadapi ataupun emosi yang kita rasakan. Pasalnya pembenaran emosional dan semangat tidak selamanya menjadi jalan keluar dari permasahan. [Dian]
KOMENTAR