Hari raya Idhul Adha atau hari raya kurban yang dilaksanakan setiap tanggal 10 Dzulhijjah oleh umat muslim tidak bisa dilepaskan dari sejarah kisah Nabi Ibrahim as dengan putranya Nabi Ismail as.
Tepat pada malam Tarwiyah, hari ke-8 di bulan Dzulhijjah, Nabi Ibrahim setelah selamat dari siksaan api Raja Namrud, bermimpi menyembelih putra kesayangannya Nabi Ismail as. Nabi Ibrahim pun tidak mengingkari ataupun membenarkan mimpinya. Namun beliau meminta petunjuk kepada Allah SWT tentang mimpi yang dialaminya.
Pada hari kedua, beliau bermimpi tentang hal yang sama hingga malam ketiga. Ia merasa jika berangsurnya mimpi yang sama merupakan jawaban sebagai petunjuk dari Allah SWT. Setelah itu, ia menyampaikan mimpinya kepada Nabi Ismail.
Nabi Ismail pun menguatkan dan mendukung ayahnya untuk melaksanakan perintah Allah SWT. Dan Nabi Ismail siap untuk dikurbankan.
Melalui kisah Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as, Ibadah kurban bukan hanya sekadar simbol tradisi keagamaan. Melainkan sebuah bentuk penundukan ego yang dilakukan oleh keduanya.
Bagaimana seorang ayah mengikhlaskan putranya yang telah lama dinantikan untuk dikurbankan. Begitu pun sang anak yang siap dan ikhlas dikurbankan. Hal ini menujukan hubungan antara orang tua dan anak tidak mengikat ego keakuan atau kepemilikan.
Penerimaan dan keikhlasan keduanya menjadi sebuah manifestasi penundukan ego seorang hamba kepada penciptanya. Berikhlas dan berserah kepada tuhannya. Bahkan dengan merelakan hal paling berharga. Pasalnya sebagai seorang hamba kita tidak mempunyai hak otoritas totalitas dalam diri kita.
Ego Individu ke Sosial
Ibadah kurban bukan hanya mengajarkan hubungan manusia dengan tuhannya. Melainkan hubungan kita sesama manusia sebagai makhluk sosial.
Dengan berkurban kita belajar tentang hakikat pengorbanan. Daging hewan kurban hanyalah sebuah simbol dari makna korban yang begitu luas meliputi pengorbanan dalam wujud harta benda, tenaga, pikiran, waktu, dan lain sebagainya.
Pengorbanan menjadi manifestasi dari kesadaran kita sebagai makhluk sosial. Bagaimana kita peka dan peduli kepada orang lain yang lebih membutuhkan. Membangun kesadaran bahwasanya kita tidak hidup seorang diri. Namun hidup dan dihidupkan oleh orang lain.
Di sinilah perlunya kita “menyembelih” ego kebinatangan kita, untuk menggapai kedekatan (qurb) kepada Allah, karena esensi kurban adalah solidaritas sesama dan ketulusan murni untuk mengharap keridhaan Allah. [Safira El Mumtaza]
KOMENTAR