Resensi film Belle: Ryuu to Sobakasu no Hime - 2021
Di tengah keasyikan berselancar di dunia maya, saya tak sengaja menemukan sebuah poster film Belle pada umpan postingan yang berseliweran di dinding media sosial. Seperti dalam judul, poster tersebut menampilkan karakter si cantik dan si buruk rupa pada fokus utama. Uniknya, visual dalam gambar tersebut merupakan jenis animasi jepang atau populernya disebut anime. Tergerak atas rasa penasaran, (selain karena menggemari genre anime), saya pun menonton film tersebut.
Film berdurasi 120 menit ini memiliki judul lengkap Belle: Ryuu to Sobakasu no Hime, atau dalam bahasa Indonesianya Belle: Naga dan Sang Putri dengan Wajah Berbintik. Disutradarai oleh sutradara anime kenamaan Jepang, Mamoru Hosoda, dan bekerja sama dengan Studio Chizu, mempersembahkan sebuah cerita klasik berbalut visual epik ala era digital saat ini.
Karakter tokoh pada film ini berpusat pada seorang gadis SMA bernama Suzu Naito. Di masa kecil, ia merupakan gadis yang ceria dan cemerlang. Ia dekat dengan ibunya yang mendukung kecintaan Suzu kepada dunia tarik suara dan kepenulisan lagu. Namun, ia berubah menjadi gadis pendiam yang kelam dan kesepian, lantaran luka traumatis akibat kematian tragis ibunya yang terseret deras arus sungai saat menyelamatkan nyawa anak kecil tak dikenal.
Kehidupan Suzu mulai berbalik tatkala sahabatnya, Hiroka Betsuyaku, mengenalkannya pada dunia virtual bernama “U” dan menciptakan avatar cantik dengan muka berbintik yang dinamai Belle (merupakan terjemah bahasa lain dari nama Suzu yang berartikan cantik). Suzu merasa bahwa suguhan kehidupan yang ada di dalam dunia virtual “U” tersebut merupakan kesempatan keduanya untuk menjadi sosok pribadi yang lain.
Di sana, Suzu (baca: Belle) mempertunjukkan kemampuan menyanyinya yang tidak bisa ia salurkan di dunia nyata. Lama kelamaan, bakat menyanyinya jadi sorotan para pengguna “U”. Ia pun menjadi seorang penyanyi kenamaan di dunia virtual. Segalanya tampak sempurna dan lancar-lancar saja bagi Belle yang berada di puncak kepopuleran. Namun, semua berubah ketika akhirnya ia bertemu dengan Naga.
BACA JUGA: TED K; Wajah Teknofobia
Mengambil Latar Serupa Metavers
Pada prolog film, kita akan langsung disambut dengan gambaran semesta virtual bernama “U” yang menjadi latar utama cerita. “U” merupakan wadah virtual di mana manusia, yang dalam representasinya berbentuk avatar, dapat melakukan dan menghadiri kegiatan yang semula dilakukan di dunia nyata. Seperti melakukan pertemuan, menonton konser, realisasi gim, dan lain-lain. Meski begitu, film ini tidak lantas menjadikan dunia “U” sebagai latar keseluruhan di dalam plot. Komposisi perbandingan setting antara dunia nyata dan dunia issekai (baca: dunia lain) adalah 50:50. Artinya, penulis ingin menyejajarkan bobot perbedaan latar, serta mengikatkan simpul yang membuat kedua hal tersebut saling terkait satu sama lain.
Beruntungnya, film ini rilis pada tahun 2021 (di Indonesia rilis pada awal tahun 2022). Di mana, pada tahun tersebut Facebook (yang kini beralih nama jadi Meta) tengah gencar-gencarnya mempopulerkan Metaverse, sebuah teknologi Augmented Reality (AR) yang memungkinkan individu untuk berinteraksi langsung dengan individu lainnya secara virtual. Sederhananya, Metaverse kerap diartikan sebagai simulasi dunia nyata manusia yang diimplementasikan di dalam dunia maya atau internet.
Film ini merupakan penggambaran apik tentang bagaimana jadinya dunia kita saat ada di era Metaverse. Pengetahuan kita tentang dunia Metaverse sedikit banyak mempengaruhi pemahaman kita tentang latar dunia “U” yang ada di dalam film. Konsep realisasi dunia virtual yang diterapkan pada Metaverse dan “U” membuat kontras antara imajinasi dan realitas kita yang semula bersisihan menjadi kabur. Semua hal di dalam film jadi masuk akal dan sangat mungkin terjadi di dunia kita.
Selain itu, kerapatan grafis yang solid, pengambilan sudut yang tepat, dan pengejawantahan dunia virtual yang tidak berlebihan namun pas, membuat anime ini akan sayang jika ditonton dengan kualitas film beresolusi rendah.
BACA JUGA: Cantik dan Usaha Menjadi Tidak Sempurna
Interpretasi Bebas Dongeng “Si Cantik dan Si Buruk Rupa”
Meski mengambil inspirasi dari dongeng “Si Cantik dan Si Buruk Rupa”, bukan berarti penonton akan disuguhi cerita dengan plot sama seperti kisah Belle pada film-film Disney. Belle di film ini merupakan representasi alter ego milik Suzu dengan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki. Mereka adalah dua karakter berbeda sekaligus satu karakter yang sama. Sebuah paradoks yang secara lembut menyatakan kepada penonton bahwa fokus cerita di dalam film ini bukanlah tentang percintaan antara Belle dengan Naga, atau antara Suzu dengan sahabat kecilnya, Shinobu Hisatake.
Fokus utama plot cerita ini justru menyoroti tentang pengalaman traumatis yang dialami beberapa tokoh dalam film. Seperti pengalaman Suzu, si tokoh utama, yang berubah menjadi gadis pendiam dan menutup diri dari orang lain pasca kematian ibunya, serta tokoh kakak beradik bernama Kei dan Tomo yang coba bertahan dan melindungi satu sama lain dari kekerasan fisik yang dilakukan oleh Ayah mereka.
Penonton diajak untuk turut merasakan bagaimana karakter tersebut tenggelam dalam trauma mereka, dan bagaimana cara mereka mampu mengobati luka batin masing-masing dengan menjadi lebih jujur dan berani terhadap diri sendiri. Tidak ada luka batin yang akan sembuh tanpa kesadaran kita untuk mengobatinya. Tanpa bumbu drama yang berlebihan, cerita ini mampu membuka mata penonton akan pentingnya menghargai keberadaan orang terdekat kita, serta pentingnya mencintai diri sendiri.
Selain itu, Belle yang dicitrakan sebagai seorang penyanyi berbakat di dunia “U”, akan turut serta mewarnai jalan cerita film ini dengan suguhan lagu yang menyentuh hati dan memanjakan telinga pendengar.
Diakui Sebagai Salah Satu Anime Terbaik Abad Ke-21
Sejak pertama kali dirilis, film ini mendapat respon positif dari beberapa kritikus film. Adaptasi cerita “Si Cantik dan Si Buruk Rupa” yang berbeda, lantaran menggunakan setting tempat masa depan/kini, merupakan representasi imaginatif yang apik secara visual dan penuh emosi dari segi pengembangan cerita. Sehingga membuat film ini layak masuk ke dalam deretan film anime terbaik abad 21, menurut Rotten Tomatoes.
Selain itu film ini juga masuk di banyak nominasi festival film internasional. Salah satunya adalah Festival Film Cannes pada tahun 2021 dan mendapatkan 14 menit standing ovation setelah pemutaran film berlangsung.
Film dengan pengembangan cerita yang padat dan bulat ini tidak meninggalkan plot hole yang hanya akan membuat penonton bertanya-tanya. Plotting yang mulus dengan suguhan inti sari yang ringkas dan sederhana, membuat pesan yang tersampaikan membekas di hati. Tidak hanya itu, penataan visual yang penuh warna tapi tidak membuat ‘sakit mata’ membuat anime tersebut berkesan di mata penonton. Sebab itulah film ini sangat cocok untuk menghabiskan waktu di akhir pekan bersama keluarga, kekasih, atau cukup diri sendiri. [Etika]
KOMENTAR