Di desa, orang-orang tidak lagi menahan anak-anaknya berangkat ke sekolah. Para bapak tidak lagi menenteng anaknya ketika mengolah sawah. Sedari fajar, para ibu sudah menjadi repot membangunkan sang anak untuk mandi pagi dan berangkat ke sekolah. Anak-anak di desa menjadi terbiasa meninggalkan peraduan dengan seragam dan sepatu hitamnya.
Ya, orang desa tidak lagi tabu dengan bangku sekolah. Dari anak yang menuju dewasa hingga yang baru lancar berbicara, tidak ada satu pun yang luput dari huruf-huruf dan angka-angka. Dunia pendidikan sudah menjadi kewajiban untuk dimasuki, baik karena aturan wajib sekolah 12 tahun dari pemerintah ataupun karena memang memahami bahwa pendidikan itu penting.
Para orang tua yang memasukkan anaknya mencicipi bangku sekolah dengan menyimpan harapan yang begitu besar. Mimpi-mimpi masa depan tentang kehidupan yang lebih baik. Masa tua yang sejahtera dan tanpa beban. Di pundak anak-anak tidak hanya menahan beratnya buku-buku pendamping di kelas, tetapi juga harapan para orang tua untuk anaknya kelak akan menjadi "seseorang". Mimpi untuk memangku pekerjaan yang dianggap mumpuni.
Orang-orang di desa, yang hampir semuanya menggantungkan hidup pada tanah dan tanamannya, memimpikan anak-anaknya tidak berpeluh keringat demi sesuap nasi. Mereka mulai memimpikan pekerjaan yang dianggap "lebih baik"; bekerja di dalam ruang ber-AC, baju rapi, dan tidak perlu menyiksa ototnya terlalu berlebih.
Anak-anak yang lahir dari ibu dan bapak petani tidak dikehendaki menjadi petani. Seakan semua kesusahan mengolah sawah hanya boleh berhenti di nasib orang tuanya. Anak-anak diupayakan bernasib mujur, punya mobil dan rumah bertingkat.
Anak-anak disekolahkan untuk bisa pergi ke kota, mengadu nasib menjadi "orang". Punya banyak tanah untuk dijadikan ladang usaha. Tidak peduli bagaimana kualitas pengetahuan di sekolah, yang penting hidup tidak lagi mengolah sawah.
Sayangnya, orang tua lupa memimpikan tentang tanah tuahnya, tanah moyang yang menghidupi. Semua anak dikirim ke kota. Melempar dadu nasib kemujuran dari para dewi.
Di usia senja, para orang tua mulai kebingungan. Tidak ada anak-anaknya yang pulang dan pergi ke sawah. Anak-anak yang sudah menjadi dewasa, terlanjur gagap dalam urusan mengolah sawah. Lupa cara membajak dan menanam. Orang tua yang semakin tua, memaksa tubuhnya yang keriput untuk tetap memberikan kehidupan terakhir bagi tanah bertuahnya.
Ketika tulang semakin tidak bisa menopang berat tubuhnya, banyak tanah yang ditinggalkan dan dibiarkan bertumbuhkan ilalang. Tanah yang dahulunya bertuah memberikan kasih sayang untuk menghidupi, menjadi begitu bebal dan tidak mau menumbuhkan hidup. Jika sedikit beruntung, tanah dipindah tangan ke orang kaya. Tanah ditukar berlembar-lembar kertas bergambarkan pahlawan revolusi.
Orang-orang desa tidak lagi memiliki kekayaan akan tanahnya, tidak lagi memiliki tanahnya yang bertuah. Orang-orang beruang yang membayarkan tanahnya, menyulap tanah menjadi toko dan ladang usaha. Tanah menjadi sesak tertimpa beton dan besi.
Semakin lama, tanah-tanah desa habis menjadi deret bangunan. Orang-orang semakin lupa bagaimana tanah itu dulu pernah begitu menghidupi. Mengajarkan kesabaran dan rasa syukur yang agung akan kehidupan yang diberkati. Tidak ada lagi gelak tawa anak-anak di ladang yang penuh lumpur. Atau para pemilik tanah yang bercakap-cakap mendongengkan hasil panen.
Senja di desa tidak lagi berhiaskan kaki-kaki yang kekar menapaki tanah, atau para pemuda yang menggendong buah tangan dari sawahnya. Senja di desa menjadi muram, berisikan kecemasan akan hari esok dan tugas-tugas yang belum usai. Kini, tanah itu begitu dingin bersama para orang tua yang kesepian menunggu anaknya pulang dari kota. [Ainun Nafisah]
KOMENTAR