Kasus kekerasan seksual di Indonesia kini sedang menjadi perbincangan publik. Pasalnya, tindak kekerasan seksual telah merambah ke lingkup yang heterogen. Di lingkungan masyarakat, keluarga bahkan instansi pendidikan.
Sepanjang tahun 2015 hingga 2020, Komnas Perempuan menerima sebanyak 51 aduan kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan. Sebanyak 27% di lingkungan universitas, 19 persen di lingkungan pesantren atau pendidikan berbasis agama Islam. Lalu, 15 persen di tingkat SMA/SMK, serta 7 persen di tingkat SMP, dan 3 persen terjadi di SD/SLB/TK atau pendidikan yang berbasis agama kristen.
Belum lama ini pemilik dan pengurus Pondok Tahfiz Al-Ikhlas, Yayasan Manarul Huda Antapani dan Madani Boarding School Cibiru Bandung, melakukan tindak kekerasan seksual terhadap santrinya yang masih di bawah umur dengan rentan usia 13-16 tahuan. Kasus ini terungkap sejak tahun 2016 dan jumlah korban saat ini sebanyak 14 orang santri dan beberapa darinya telah melahirkan anak dan tengah mengandung.
Selain itu, seorang mahasiswi Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sriwijaya (Unsri) di Indralaya, Sumatera Selatan (Sumsel) mengalami kasus pelecehan seksual oleh oknum dosen saat melakukan bimbingan skripsi di kampusnya. Korban mengalami pelecehan seksual secara fisik, dengan dipeluk dan dicium sampai akhirnya pelaku memaksa korban memegang kemaluannya dan melakukan masturbasi sampai pelaku mengalami orgasme.(Kompas.com,01/12/21).
Pendidikan Karakter Pendidik
Urgensi kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan intelektual dan dilakukan oleh para civitas akademik telah menjadi sorotan. Hal ini seakan menujukan ketidakmampuan seorang intelektual menjaga sikap maupun implementasi dari pengetahuannya. Padahal pitutur jawa menuturkan guru adalah seseorang yang perkataannya didengarkan (digugu) dan orang yang menjadi panutan (ditiru).
Melihat realitas ini telah memutar balikan esensial seorang intelektual. Bagaimana karakter yang menjadi salah satu nilai pendidikan luntur. Ironi kasus kekerasan seksual ini menandakan bahwasanya pendidikan karakter tidak hanya dibutuhkan bagi mereka yang bersatus sebagai pelajar. Namun juga perlu dimiliki dan diimplementasikan oleh seorang pendidik.
Seperti halnya trilogi pendidikan Ki Hajar Dewantara yang harus dimiliki oleh guru, yaitu Ing ngarso sing tulodho ( di depan, seorang pendidik mampu memberikan teladan serta contoh yang baik) , ing madyo mangun karso ( ditengah atau diantara murid, pendidik harus menciptakan sebuah ide) dan Tut wuri handayani ( dari belakang, pendidik harus mampu memberikan sebuah dorongan serta arahan).
Keberhasilan pendidikan tidak hanya dilihat dari keberhasilan intelektual. Namun berimbang dengan karakter dan mentalitas yang baik. Dimana pendidikan karakter menjadi salah satu medium dalam pendidikan untuk membentuk pola pikir dan perilaku yang berbudi luhur. Sebagaimana Ki Hajar Dewantara, mengatakan pendidikan merupakan proses untuk memanusiawikan manusia. Dan untuk mencapainya, seseorang perlu melakukan penguasaan diri. Pasalnya ketika seseorang mampu untuk menguasai dirinya, tentunya mereka mampu untuk menentukan sikap dalam bertindak yang berlandaskan pengetahuan.
Sementara untuk membangun sinergitas pendidikan yang dapat melahirkan intelektual penerus bangsa tentu saja buka menjadi tanggung jawab pribadi atau pihak tertentu saja. Untuk mewujudkan cita-cita ini dan menciptkan lingkungan pendidikan yang aman dibutuhkan sinergitas dari seluruh elemen pendidikan. [Nia]
KOMENTAR