Kiprah para Walisongo dalam melakukan dakwah keagamaan pada masyarakat Jawa telah menjadi catatan sejarah. Tentu saja hal ini tidak bisa lepas dari keberhasilan metode dakwah yang digunakan. Pendialogan antara nilai budaya dan nilai agama membuat visi para Walisongo diterima baik oleh masyarakat.
Di abad ke 14 M, para Walisongo mulai menyebarkan agama Islam di pulau Jawa. Bagaimana pada waktu itu masyarakat Jawa masih memeluk kepercayaan indigenious. Pendekatan yang dilakukan para Walisongo untuk menanamkan nilai agama Islam tentu saja tidak dilakukan secara radikal maupun ekstrim.
Pendekatan melalui budaya untuk menanamkan nilai agama Islam menjadi metode dan proses yang dipilih. Misalnya penyebaran agama islam menggunakan melalui dakwah kesenian wayang, dolanan dan juga tembang-tembang jawa seperti macapat.
Proses seperti ini, menjadikan ajaran agama Islam mudah diterima dan dipahami oleh masyarakat. Selain itu, secara tidak langsung proses aktualisasi telah membangun nilai tolerasi antara nilai budaya dan nilai agama.
Keberagaman budaya dan keteguhan agama yang saat ini mengakar pada masyarkat Jawa tidak bisa lepas dari peranan Walisongo. Bagaimana saat ini masyarakat jawa masih banyak melakukan kegiatan tradisi kebudayaan dan keagamaan seperti tahlilan, slametan tujuh bulanan, wayang kulit bernafaskan Islam dan kegiatan tradisi lainnya.
Tradisi budaya dan agama tersebut tidak hanya sebatas nilai simbolis akulturasi budaya, namun sebuah bangunan konsepsi warisan leluhur dan agamawan yang dapat membangun dan membawa sikap masyarakat ke arah moderat. Nilai keberagamaan dan keragaman telah menjadi bentuk praktis dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam ranah praktis, tradisi budaya dan agama telah melibatkan aktivitas sosial masyarakat. Edukasi kultural ini membanguan masyarakat yang solid secara sosial seperti gotong royong, komunikasi sosial, saling mengenal dan lain sebagainya. Hal tersebut secara tidak langsung telah membawa konsepsi keragaman tentang kepercayaan, prespektif, suku bahkan agama mampu berjalan berdampingan tanpa adanya sebauh sinisme. [Nada Risatul Ulya]
KOMENTAR