Human Cyborg (cybernetics and organism) menjadi proyek yang sedang gencar diwujudkan namun juga ditentang oleh sebagian umat manusia. Cyborg diciptakan sebagai bukti dari bentuk evolusi manusia yang "sempurna". Namun keberadaannya secara otomatis juga dikhawatirkan mampu menantang eksistensi manusia sebagai makhluk adikuasa di dalam peradaban. Karena dengan terwujudnya manusia cyborg, seakan melegitimasi bahwa manusia adalah produk ciptaan Tuhan yang "belum selesai".
Pada bulan Februari 2021 lalu, Elon Musk mencuitkan di akun Twitter-nya bahwa perusahaannya, Neuralink siap melakukan uji coba pemasangan microchips ke dalam otak manusia. Ia juga mengatakan, uji coba tersebut akan segera dilakukan setelah FDA (Badan Pengawas Obat dan Makanan AS) mengafirmasi capaian Neuralink. Dan targetnya, akhir tahun ini sudah terlaksana. Bukan tidak mungkin jika mimpi menjadi Cyborg benar-benar terwujud.
Cyborg dan manifestasinya sudah jauh diwacanakan bahkan sebelum orang-orang menyadari bahwa peradaban sedang berjalan menuju dunia serba otomatisasi. Bahkan, di tahun 1960-an sudah ada penelitian yang mengkaji kemungkinan peranan cyborg sebagai terobosan efisiensi kehidupan serta kemungkinan-kemungkinan kegagalannya dalam mengelola kehidupan manusia yang sarat akan nilai.
Melalui esainya yang berjudul A Cyborg Manifesto, Donna Haraway menunjukkan bagaimana cyborg berperan dalam laju kemajuan peradaban yang selalu berpacu dalam kecepatan dan usaha menuju "kemudahan".
Cyborg berada dalam laju terwujudnya post-humanism yang mana sains dan teknologi berhasil mengisi ruang-ruang kosong ketidaktahuan serta keterbatasan manusia dalam menggerakkan roda peradaban. Manusia cyborg diidentifikasi sebagai hibrida antara tubuh biologis dengan mesin. Secara operasional, cyborg hidup dengan sepenuhnya berdampingan dengan teknologi.
Sudah ada beberapa contoh manusia cyborg yang dihadirkan dan ditampilkan sebagai contoh keberhasilan ide tentang ini. Seperti Neil Harbisson Misalnya. Ia menjadi cyborg setelah mengimplan antena yang membantunya mampu melihat warna. Ia mengalami buta warna dari lahir, dengan alat yang menjadi satu dengan kepalanya itu, membuatnya menjadi manusia setengah mesin yang "hidup".
Kemunculannya di ruang publik, bersama beberapa manusia cyborg lain, menjadi kampanye nyata bahwa agenda dalam mimpi menjadi cyborg bukanlah hal yang "magis". Ini juga menunjukkan bahwa manusia tidak bisa untuk tidak hidup menyatu dengan teknologi.
Dalam esainya itu pula, Haraway menyinggung perihal "kita" dan eksistensi cyborg. Meski kita tidak menyadari dan enggan mengakui, sebenarnya kita sudah menjadi cyborg. Bukan dalam wujud pencangkokan mesin ke dalam tubuh, tetapi lebih pada bagaimana kita mengalami proses "ketergantungan" dengan unsur-unsur yang tidak alami.
Kita bisa melihatnya dari bagaimana kita sangat melekat dengan teknologi, smartphone misalnya. Bagaimana kita begitu mencemaskan gawai kita yang kehabisan daya. Atau betapa risaunya kita ketika tidak ada jaringan internet di dekat kita. Itu terjadi dan kita mengalaminya sendiri. Kita cemas bukan karena untuk memastikan mesin kita baik-baik saja. Tetapi karena kita sudah ter-mindset bahwa kita akan kesulitan jika tidak menggunakannya.
Pun dalam hal berpengetahuan. Kita sudah sangat menyandarkan pengetahuan kita pada dunia yang serba virtual. Setiap informasi dilayangkan dan diterima dari sang Google. Bahkan, sering kali kita memperlakukan teks-teks yang ada di dalam ruang internet sebagai bentuk kebenaran final. Hal ini tidak hanya membawa dampak ketergantungan, tetapi candu untuk tidak mengalami dialektika dengan informasi.
Jika hari ini kita begitu mengkhawatirkan bagaimana orang-orang mudah tersulut emosi dan bertindak saling menjatuhkan di media digital, belum tentu sepenuhnya itu menjadi dampak buruk dari keberadaan teknologi. Bisa saja karena sumber daya manusia di dalam ruang virtual tidak benar-benar memahami bagaimana harus menggunakan teknologi dan hanya sebatas "ikut-ikutan". Alhasil, kemampuan untuk membaca lebih dalam terhadap teks pun menjadi terbatas.
Semakin ke sini, inovasi terhadap teknologi terutama teknologi informasi masih terus dikembangkan. Bahkan mencapai realitas yang mulanya dianggap sebagai bentuk imajinatif sepenuhnya. Jika ada yang beranggapan bahwa berinformasi bukan bagian dari evolusi menjadi cyborg, mungkin perlu meninjau ulang bagaimana mesin generasi ke-tiga bekerja; membuat orang saling terhubung dan berjejaring.
Di tengah gempuran teknologi informasi yang semakin disempurnakan, umat manusia juga dituntut untuk berada dalam laju yang sama dengan kemajuan teknologi tersebut. Manusia cyborg didesain sebagai tubuh yang serba tahu, serba bisa, dan mampu melintas batas semua yang ada di dunia, terkhusus dalam ranah pekerjaan dan pengetahuan. Ia merupakan hibrida dari mesin dan organisme. Menggabungkan alam dan budaya ke dalam satu tubuh.
Cyborg muncul salah satunya akibat dari parade perlombaan kita dengan waktu. Kita selalu beradu dengan batas dan selalu membutuhkan kecepatan. Setiap inci pengetahuan dan aktivitas kita menuntut untuk serba cepat dan tidak boleh "kehabisan waktu". Dan cyborg diadakan sebagai inovasi untuk melipat waktu kita di seluruh dunia, serta mempermudah pekerjaan sebagai "manusia".
Adu Rayu; Pekerjaan dan Sistem Waktu
Sebelum masa Revolusi Industri, umat manusia memiliki kemampuan dan tanggung jawab menyelesaikan pekerjaan secara utuh dan tuntas. Misal, ketika membuat baju, seorang penjahit akan menyelesaikan pekerjaannya mulai dari mengukur bahan hingga jahitan terakhir sampai berbentuk "baju". Begitu pun dengan pekerjaan lain, setiap orang mengampu keahliannya masing-masing dan menyelesaikan setiap proyek secara keseluruhan.
Berbeda ketika mesin produksi diciptakan dan dunia modern membentuk sistemnya sendiri perihal "kerja". Industri modern begitu mendewakan ketepatan dan keseragaman. Setiap orang memiliki tanggung jawab terhadap pekerjaannya, tetapi bukan secara keseluruhan produk, melainkan hanya bagian kecil dari komponen yang diperlukan. Ketika pengerjaan di satu komponen mengalami kendala, maka seluruh sistem produksi akan tersendat. Setiap awak produksi saling terkait dan tidak bisa basa-basi dengan "waktu".
Untuk mencegah kekacauan seperti itu, setiap orang harus patuh pada jadwal yang tepat. Setiap pekerja datang di tempat kerja tepat pada waktu yang sama. Setiap orang makan siang bersama, entah lapar atau tidak. Setiap orang pulang ketika diteriakkan pengumuman saat berakhirnya sif, bukan ketika mereka menyelesaikan proyek. Revolusi Industri mengubah jadwal itu dan deret pengerjaan menjadi sebuah setelan untuk hampir semua aktivitas manusia.
Hal ini juga yang menyebabkan banyak orang berada di situasi pengangguran. Karena sistem kerja yang berlaku tidak mengindahkan potensi setiap individu. Melainkan menyamaratakan setiap orang sebagai individu yang memiliki kemampuan kolektif. Setiap orang bersaing untuk menempati satu jenis pekerjaan seakan hanya itu satu-satunya yang bisa dilakukan di dunia.
Kehadiran cyborg seperti mengungkit kembali glorifikasi tubuh yang pernah dilakukan oleh pemimpin Nazi, Adolf Hitler. "Mengekstrak" manusia hingga tersisa "manusia super" yang mampu dan unggul dalam semua bidang. Sistem dalam pekerjaan pun tidak akan melemah ketika para manusianya menjadi lebih cepat dari sang "waktu".
Meski eksisnya cyborg dikhawatirkan akan mampu meniadakan esensi kemanusiaan, bukan berarti kita menjadi terjebak dalam kecemasan tersebut. Bahkan hingga tidak melakukan "pergerakan" apa pun.
Cyborg terkontrol oleh teknologi, dan sampai saat ini, belum ada teknologi mana pun yang mampu menginput dua bagian terpenting dari kemanusiaan; nalar dan nurani. Apa yang sangat kita takutkan dari kemajuan teknologi yang dikatakan semakin cerdas, ketika kecerdasan tersebut juga dibentuk oleh manusia yang cerdas?
Apakah karena narasi yang mengatakan kemungkinan dominasi teknologi atas manusia, sehingga esensi kemanusiaan akan menghilang dari atas dunia? Bukankah itu belum terjadi? Sampai hal itu benar-benar terjadi, masih ada deret waktu dan kesempatan untuk kita membuatnya menjadi tidak terjadi. Salah satu yang memungkinkan, manusia harus menjadi cerdas dan terus menjadi cerdas. Menalar setiap kemungkinan dan celah yang ada, sembari terus upgrade pengetahuan dan kemampuan.
"Masalah sebenarnya bukanlah apakah mesin berpikir tetapi apakah manusia melakukannya," BF Skinner (1904 - 1990).
[Ainun Nafisah]
KOMENTAR