Gambar: Istimewa |
SETIAP manusia pasti memiliki tujuan dan harapan dalam hidup. Salah satunya yang terus dikejar dan ingin selalu terpenuhi ialah kebahagiaan, yang menjadi kebutuhan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya orang yang berlomba-lomba untuk mencari dan mengejarnya.
Dalam prosesnya, setiap orang memiliki makna dan orientasi bahagia yang berbeda-beda. Misalnya, orang bahagia saat memiliki harta dan kekayaan, mendapatkan popularitas dan reputasi tinggi, meraih prestasi dan penghargaan, dan lain-lain.
Pertanyaannya ialah, ketika sudah mendapatkan itu semua, apakah seseorang dapat benar-benar bahagia? Pada kenyataanya, banyak orang di sekeliling kita, meskipun memiliki segalanya, justru selau merasa gelisah dan tidak tenang.
Mengapa bisa seperti itu? Hal tersebut terjadi karena bias yang menyebabkan orang menyimpang dalam memaknai kebahagiaan. Untuk menjawab hal ini, kita harus mengetahui filosofi kebahagiaan.
Lalu, gimana sih, filosofi bahagia itu?
Para filsuf percaya bahwa kebahagiaan dapat dipahami sebagai tujuan moral kehidupan. Kebahagiaan seringkali dihubungkan dengan etika dan moralitas. Kebahagiaan ialah kondisi di mana pikiran dan tindakan yang menjadi poros kehidupan manusia dapat berjalan dengan positif.
Hidup Bahagia; Aktivitas Rasional
Salah seorang filsuf Yunani Kuno yang menaruh perhatian khusus dalam filosofi kebahagiaan ini yaitu Aristoteles. Menurutnya, kebahagiaan dapat diperoleh manusia dengan membiasakan diri berbuat kebajikan (Eudaimonia). Kebajikan inilah yang menjadi tujuan utama manusia dalam menjalani proses kehidupan.
Menurut Aristoteles, istilah eudaimonia, yang diterjemahkan sebagai 'kebahagiaan' merupakan suatu aktivitas daripada emosi atau keadaan. Eudaimonia mengarahkan pada aktivitas yang secara inheren positif di mana manusia dapat berjuang penuh untuk meraihnya.
Lalu, apakah mencari kekayaan, kehormatan, kesehatan, kesenangan, dapat dikatakan bahagia? Bisa saja orang akan bahagia, namun pastinya tidak akan lama. Pasalnya kondisi ini hanya bersifat temporal atau sementara.
Semua itu memang benar bahwa memiliki nilai, namun tidak satupun orang akan menempati kebajikan terbesar yang menjadi tujuan utama manusia. Tampaknya semua barang bisa menjadi sarana untuk memperoleh kebahagiaan. Tetapi bagi Aristoteles, kebahagiaan selalu merupakan tujuan itu sendiri.
Dengan demikian, kehidupan bahagia ialah kehidupan di mana seseorang dapat mewujudkan kodratnya sebagai manusia dengan cara dan proses yang sangat baik. Aristoteles mengatakan bahwa kehidupan yang baik akan terwujud berdasarkan aktivitas rasional yang baik pula.
Hal ini tidak lepas dari fungsi manusia sendiri sebagai mahluk yang memiliki nalar. Maka kehidupan yang mengoptimalkan aktivitas rasional adalah kehidupan yang bahagia.
Apakah Budaya Memaksimalkan Kebahagiaan?
Pada kenyataannya tidak semua budaya memaksimalkan kebahagiaan. Seorang professor Psikologi dan Ilmu Saraf, June Gruber berpendapat bahwa mencari kebahagiaan dapat memberikan efek negatif. Karena hal ini membuat banyak orang memiliki harapan yang terlalu tinggi. Harapan yang tinggi namun tidak disertai sikap rasional dan realistis pada akhirnya membuat orang gagal bahagia.
Dalam sebuah penelitian, kebahagiaan itu tidak hanya ditentukan oleh pengaruh negatif dan positif. Richard Layard berpendapat bahwa penyakit mental merupakan salah satu penyebab orang sulit bahagia. Pasalnya orang yang dalam kondisi ini selalu dibanjiri emosi negatif sehingga sulit untuk bersikap rasional.
Lalu, apakah kebahagiaan yang kita dapatkan harus memiliki alasan di luar diri kita?
Aristoteles menjawab, “Kebahagiaan kita tergantung pada diri kita sendiri.” Serta "Kebahagiaan dari hidup kita bergantung pada kualitas dari pikiran kita," demikian pula kata Marcus Aurelius.
[Safira Elmumtaza]
KOMENTAR