Abu Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakimi atau lebih akrab disapa Abu Nawas, dikenal sebagai perangainya yang lucu, cerdik, dan mahir bertutur kata. Dibaliknya sosoknya yang humoris, dalam hidupnya Abu Nawas sempat mengalami pergulatan. Bagaimana perjalanan spritual Abu Nawas memiliki andil besar dalam membentuk dirinya seperti sekarang.
Selama hidupnya Abu Nawas dipandang masyarakat sebagai seorang yang mempunyai mulut magis misalnya mampu membuat satir untuk orang lain hingga syair cinta yang dijadikannya untuk merayu wanita. Pribadi yang berantakan, tidak bermoral, pemabuk, bahkan tidak taat akan perintah agama sudah melekat pada dirinya. Hal itu yang membuatnya lantas diasingkan oleh masyarakat dan agamawan.
Kisah menohok juga pernah dialami oleh Abu Nawas, pada malam ganjil bulan Ramadhan. Diusianya yang tidak lagi muda ia ditemukan dalam keadaan mabuk mabukan disekitar jamaah sholat tarawih. Ia berjalan tak acuh, melewati rombongan jama’ah begitu saja.
Kemudian seseorang yang tidak dikenal menghampiri Abu Nawas, berdiri di depannya sembari berkata “Wahai Abu Ali (Abu Nawas) jika engkau tidak mampu menjadi garam yang melezatkan, setidaknya janganlah engkau menjadi lalat yang menjijikkan”. Seketika Abu Nawas tertohok dengan perkataan itu, dan membuatnya menyadari akan berbagai hal.
Dalam beberapa kondisi, masyarakat di sekitar Abu Nawas kerap kali membuat dirinya resah, hingga ia harus melontarkan kritik pedas kepada mereka. Namun tanpa disadari tindakan yang dilakukannya bukanlah sebuah penyelesain masalah, namun yang terjadi justru sebaliknya menambah masalah baru.
Berawal dari sinilah Abu Nawas mengalami titik balik dalam hidupnya. Melalui perenungan akhirnya Abu Nawas menyadari akan kisah hidupnya yang kelam bahkan dihina sebagai seekor lalat.
Sebuah Refleksi Kesadaran
Memahami situasi Abu Nawas, kesadaran seakan menjadi sebuah titik balik. Bagaimana melihat cara Abu Nawas ber-muhasabah, meragukan dan mempertanyakan tentang dirinya sendiri. Terutama dirinya yang menjadi atribut dalam kehidupan bermasyarakat.
Abu Nawas menyadari jika seseorang belum mampu menjadi problem solver, yang artinya kontribusi kehidupan sosial yang membangun, setidaknya orang tersebut mampu menjaga sudut pandang, sikap dan perilaku yang dapat memicu polemik dalam kehidupan bermasyarakat.
Sebagaimana pernah dikatakan oleh Abu Nawas sendiri, nasehat terbaik berasal dari diri sendiri. Kekuatan yang ada pada setiap individu berasal dari dalam dirinya, tidak ada orang lain yang dapat mengubah seseorang kecuali dirinya sendiri atau disebut sebagai kesadaran. Kesadaran esensial sebagai manusia maupun manusia dengan atribut yang lainnya.
Kesadaran yang dimiliki oleh setiap individu ada melalui proses pencarian yang berlandaskan pada pengetahuan. Ketika seseorang memiliki pengetahuan tentang kesadaran dirinya maka ia akan mampu mengendalikan dirinya dalam segala situasi.
Selain diciptakan sebagai individu, manusia juga tidak bisa lepas dari kehidupan bermasyarakat yang mana hal ini juga perlu untuk disadari. Kesadaran tentang makhluk sosial versi Abu Nawas yakni bagaima kita mampu menjadi orang yang terhormat, baik, dan sabar. Jika tiga sifat ini telah dimiliki, diamalkan, lalu menjadikannya satu dalam jiwa kita. Maka kita akan menjadi manusia budiman diantara masyarakat menurut Abu Nawas.
Maksud dari adanya ketiga sifat tersebut adalah seseorang perlu mengupgrade dirinya untuk menjadi lebih baik yang didasari dengan pengetahun. menjadi versi terbaik. Dan hal tersebut juga implementasikan ke dalam dirinya. Kemudian ia menekankan dirinya sendiri agar selalu mengikuti kata hatinya.
Sebagaimana Abu Nawas pernah berkata kepada dirinya sendiri, “Waktu telah merusakmu dengan harta dan keinginan hanya demi kesenangan. Hai pendosa besar ampunan Allah itu lebih besar dari pada dosamu, sebesar besarnya sesuatu masih lebih kecil dibandingkan ampunan Allah yang paling kecil.” [Dian]
KOMENTAR