"Segala sesuatu berubah, tidak ada yang tinggal tetap. Satu-satunya yang tetap hanyalah perubahan itu sendiri," Heraclitus.
Menilik konsepsi filsuf Yunani Kuno Pra-Sokratik, Heraclitus bahwasanya segala sesuatu yang ada di dunia selalu mengalami perubahan. Hal ini selaras dengan kondisi peradaban manusia dari zaman pra sejarah hingga modern yang telah mengalami transformasi dengan begitu kentara. Perubahan peradaban manusia yang lazimnya disebut sebagai sebuah kemajuan.
Mulai dari peradaban yang berjalan hanya dengan insting alamiahnya, seperti bagaimana manusia pra-literasi memfungsikan indera mereka untuk bertahan hidup. Hingga saat ini, ketika manusia memiliki banyak alat untuk mempermudah kehidupan. Perubahan itu tetap ada dan masih terus berlangsung.
Salah satu perubahan yang paling kentara ialah bagaimana manusia melangsungkan kemampuan survival-nya. Sebagai contoh, ketika manusia menggunakan indera penciuman. Dahulu, orang-orang menghidu untuk menemukan sumber makanan dan memilih tempat tinggal yang aman. Mengetahui jamur beracun, memilah daging layak makan, maupun untuk mendeteksi perubahan cuaca.
Bahkan, kekuatan penciuman ini juga mampu mentransfer emosi dari satu individu ke individu yang lain. Seperti ketika mempertahankan daerah teritorial. Manusia masa dulu mampu mengendus situasi di sekitar mereka dan memahami pergerakan musuh. Sehingga bisa memperkirakan kapan waktu yang tepat untuk bertahan dan menyerang.
Masa ini, peradaban kita menyebutnya sebagai masyarakat society 1.0. Dimana manusia masih hidup berpindah-pindah tempat dan sangat mengandalkan pengetahuan biologis dan alam untuk menjalankan kehidupan. Kemudian seiring berkembangnya zaman, pola kehidupan masyarakat semakin berkembang dan teratur. Dimana manusia mulai menggunakan gadget (alat bantu kehidupan) dan sudah mulai memiliki tempat tinggal tetap serta bertahan hidup dengan bercocok tanam.
Dan peradaban manusia terus bergerak dinamis dalam hal evolusi kognitif serta kapabilitasnya, hingga menemui masa yang mengubah laju kehidupan dengan mode kecepatan penuh. Revolusi Industri terjadi. Tahun 1800-an menjadi penanda bahwa sejarah dijalankan lebih cepat dan terus dipercepat.
Penemuan mesin uap dan alat pemintal kapas memberikan harapan besar, manusia bisa menjadi tuan di dalam kehidupannya dan bisa lebih santai dalam bekerja. Terlebih ketika listrik ditemukan dan menandai revolusi industri 2.0 yang juga memberikan harapan lebih kepada manusia. Produksi dijalankan secara kolektif dan menghasilan lebih banyak keuntungan.
Mesin-mesin baru diciptakan. Teknologi dikembangkan, dan manusia semakin kehilangan cara untuk rehat dari "menemukan" hal baru. Revolusi ini juga mampu memunculkan kendaraan bermesin yang mempercepat distribusi produk. Bahkan mampu menghantarkan manusia menjelajah bagian-bagian dunia yang tadinya hanya ada dalam khayal.
Meski begitu, adanya alat transportasi ini juga melunturkan sisi fungsional indra manusia, yang biasanya seseorang bergerak dengan kakinya untuk berpindah kini digantikan oleh mesin. Kemudian kehidupan manusia menjadi semakin modern dan mulai mendigitalisasi kehidupan.
Kemunculan komputer pada tahun 1970 menjadi penanda revolusi industri 3.0. Peran manusia di industri pun mulai dikurangi, kemudian digantikan dengan mesin-mesin pintar berteknologi khusus yang bisa memprediksi dan membuat keputusan sendiri.
Apalagi ketika internet hadir. Manusia mulai bergantung pada teknologi informasi dalam berbagai aspek pekerjaan dan kehidupan. Secara bersamaan, kita berada dalam revolusi industri 4.0 dan society 4.0. Dimana tidak hanya laju industri saja yang berubah, tetapi pola kehidupan sosial kemasyarakatan pun mengalami disjungsi.
Dilematisasi Kemajuan
Sepanjang peradaban manusia dari zaman kuno hingga hari ini, manusia telah mengalami perubahan yang signifikan. Mulai dari cara berfikir, gaya hidup, sistem sosial budaya dan lain sebagainya. Manusia semakin hidup dengan kemudahan, efektivitas dan efisiensi berkat produk dari kemajuan yang kita sebut teknologi.
Namun kemunculan teknologi yang digadang-gadang sebagai bentuk kemajuan, justru menimbulkan sisi dilematis seiring berjalanya waktu. Tujuan awalnya untuk membantu dan mempermudah kehidupan manusia, namun di sisi yang lain justru melunturkan esensialitas manusia sebagaimana "manusia" itu sendiri.
Misalnya saja di era serba modern ini. Perihal memilih bahan makanan misalnya, orang tidak perlu lagi bekerja terlalu keras menggunakan indra penciuman untuk memilah mana makanan bisa dikonsumsi. Tinggal pergi ke supermarket memilih bahan makanan apa saja, soal keamanan sudah disupervisi oleh otoritas kesehatan. Atau pergi ke restoran memilih menu makanan, menunggu beberapa menit makanan sudah bisa dinikmati. Bisa juga memesan lewat aplikasi menunggu di rumah dan makanan siap diantar. Bahkan indra penciuman seperti kehilangan perannya ketika manusia mulai menentukan makanan enak hanya dari review di kolom komentar.
Kemampuan indera perasa dan sisi emosional manusia juga semakin luntur. Misalnya saja, dalam menentukan makanan yang enak atau destinasi wisata yang bagus tidak lagi berdasarkan apa yang kita lihat atau rasakan. Melainkan berdasarkan mesin pencarian yang ada pada internet.
Tidak hanya itu, revolusi industri 4.0 mengantarkan umat manusia pada kehidupan yang selalu terjerat dengan teknologi informasi. Tak terkecuali dalam hal pengetahuan. Segala informasi mulai hal kecil seperti cara memasak air hingga hal rumit seperti pemikiran tokoh filsafat tersedia di internet. Ketersediaan dan akses yang mudah membuat segala informasi yang kita cari dan butuhkan bergantung pada pada mesin pencarian.
Namun sayangnya, informasi yang ada di internet jarang mengalami filterisasi ketika masuk ke dalam sistem otak. Semua informasi dikonsumsi dengan apa adanya dan dianggap sebagai kebenaran mutlak.
Secara perlahan kemampuan manusia untuk berfikir semakin terkikis dan orang-orang semakin kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Sebagaimana yang kita ketahui informasi yang masuk dalam diri kita tidak lagi berdasarkan kebutuhan, melainkan berdasarkan apa yang sering kita cari pada mesin pencarian.
Pasalnya internet menggunakan permainan sistem algoritma. Dimana Algoritma ini merupakan sebuah kode komputer yang besar dan kompleks yang memutuskan seberapa relevan informasi bagi setiap individu. Zat adiktif pada internet membuat seseorang terus menerus memakainya. Kemudian saat kita menggunakan internet, sistem mempelajari setiap pengguna berdasarkan yang mereka cari ataupun tonton dan internet menyesuaikan informasi untuk setiap pengguna.
Internet yang awalnya adalah sebuah koneksi ke seluruh dunia dimana dapat menyatukan semua orang namun justru sebaliknya. Algoritma justru yang mempelajari siapa kita, dan membuat filter bubble berdasarkan apa yang kita klik dan berapa lama kita melihat konten tertentu. Algoritma membatasi seseorang dalam sebuah kotak informasi dan mempolarisasi pendapat kita.
Filter bubble yang ada di internet telah mengisolasi intelektual seseorang. Seseorang tidak bisa memilih dan memilah mana informasi yang seharusnya dikonsumsi. Kemudian sistem algoritma internet juga telah memegang kendali akan diri kita dengan cara mengatur segala pilihan dan keinginan seseorang.
Padahal, manusia memiliki kemampuan alamiah untuk menalar dan mendialektikakan sistem informasi yang terjaring ke dalam tubuh. Menemukan perspektif baru dan kemampuan yang kuat dalam hal pengendalian diri, pengambilan keputusan, serta penentuan tindakan. Semuanya mampu dilakukan manusia ketika terjadi kontak sosial dan proses analisis terhadap kehidupan itu sendiri.
Kemajuan teknologi selama ini mampu menyongsong peradaban manusia lebih mudah dan efisien. Namun di sisi lain juga melumpuhkan esensialitas manusia itu sendiri. Bukan hanya secara fisik, namun kemampuan berfikir, emosional dan insting yang selama ini menjadi ruh manusia. Dan, apakah kemajuan yang kita anggap sebagai "kemajuan" ini akan mampu menuntun kita pada objektivitas perspektif yang berlandaskan pengetahuan? [Gita]
KOMENTAR