Setiap tanggal 29 September kita peringati sebagai 'hari sarjana nasional'. Seyogyanya hari tersebut tidak bisa dilihat dari kacamata seremonial belaka. Terlebih ketika terjadi dilema antara idealisme seorang sarjana dengan fenomena di masyarakat yang justru menjadi polemik.
Hal ini setidaknya menjadi refleksi kepada para mahasiswa maupun sarjana itu sendiri ketika belenggu masih menghampiri. Misalnya tentang pertanyaan 'setelah sarjana mau kerja apa? Atau perlu merefleksi yang selama ini telah luput dari identitas mahasiswa, seperti pertanyaan 'apakah setelah menjadi sarjana masih mampu mengemban perannya sebagai mahasiswa sebagai agent of social change?'
Seseorang dapat dengan mudah dilabeli sebagai sarjana apabila ia telah menyelesaikan kewajiban akademiknya di perguruan tinggi. Misalnya menjalankan serangkaian kegiatan kampus seperti kuliah, praktikum, pengabdian masyarakat serta tugas akhir penelitian skripsi dan wisuda. Selain bentuk formalisme seperti itu, hal esensial terkait kualitas keilmuan maupun perannya sebagai mahasiwa barangkali patut dipertanyakan.
Tidak hanya berhenti sampai di situ saja, cita-cita klasik tentang sarjana masih menjadi prinsip dan bahkan motivasi seseorang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Bagaimana ijazah sarjana menjadi jalan kemapanan seseorang dalam urusan "pekerjaan". Dan hal ini diamini oleh masyarakat bahwasanya menjadi sarjana sudah pasti memiliki pekerjaan yang mapan.
Namun faktanya, dilansir dari Okezone.com (27/05/21) Kementerian Ketenagakerjaan menunjukan data dari penduduk usia kerja sebanyak 205,36 juta yang disebutkan Badan Pusat Statistika (BPS), 8,75 juta di antaranya tidak memiliki pekerjaan dan 10,18%-nya adalah mahasiswa. Sementara di kabupaten Bandung Barat, dari tahun 2019 sampai 2020 angka pengangguran melonjak dari 62.695 orang ke angka 91.577 orang. Di mana pengangguran ini didominasi oleh lulusan SMA/sederajat dan sarjana, (Detik.com, 23/07/21).
Problematika tentang wajah sarjana yang belum memiliki pekerjaan bukan hanya karena sempitnya lapangan pekerjaan. Namun kualitas pengetahuan maupun skill sarjana yang tidak mumpuni juga berpengaruh terhadap hal tersebut.
Hal ini diungkapan oleh Mantan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI), Bambang Brodjonegoro Tenaga di Jakarta Convention Center (JCC) (22/07/21) bahwa kerja lulusan pendidikan tinggi di Indonesia kenyataannya setara dengan tenaga kerja lulusan SMA di Denmark. Hal senada dengan laporan The Need for a Pivot to Learning: New Data on Adult Skills from Indonesia, yang menyebut para pemuda Jakarta berusia 25 hingga 26 tahun memiliki kemampuan literasi lebih rendah dari lulusan SMP di Denmark.
Sarjana Penuh Gengsi
Kegelisahan tentang kehidupan seorang sarjana juga diulas oleh musisi legend Indonesia Virgiawan Listianto atau yang akrab disapa Iwan Fals melalui lagunya yang berjudul 'Sarjana Muda'. Dalam salah satu liriknya Iwan Fals menuliskan "mereka belajar empat tahun lamanya, bergelut dengan buku, tak menjamin masa depan, sia-sia semuanya".
Kampus sebagaimana mestinya berperan sebagai laboratorium, tempat untuk belajar baik dalam hal pengetahuan maupun pengembangan skill. Kampus menjadi tempat bagi mahasiswa untuk bebas mengekslpor apa saja yang menjadi minatnya. Sehingga mahasiswa lahir sebagai seseorang berpengetahuan dan terampil dalam berbagai bidang keahlian.
Namun selama ini yang terjadi justru berbanding terbalik. Paradigma pendidikan yang kita bangun justru paradigma pendidikan yang linier dan sistem pendidikan yang saat ini mendikotomi pengetahuan. Mahasiswa hanya difokuskan untuk belajar sesuai jurusannya dan melanjutkan jenjang karir sesuai yang dipelajari di bangku kuliah. Misalnya hanya seorang mahasiswa psikologi yang boleh belajar dan melanjutkan karir di bidang psikologi.
Paradigma yang terus digaungkan ini berhasil mengkonstruksi pikiran masyarakat dan justru menjebak diri seorang mahasiswa dalam sebuah labelitas. Mahasiswa menjadi sulit membawa dirnya untuk menjadi seorang yang bebas lantaran bekal pengetahuan maupun keterampilan yang terbatas. Mahasiswa membentuk dirinya untuk linier dengan apa yang selama ini menjadi bangunan masyarakat. Mahasiswa hanya akan bekerja sesuai dengan apa yang sudah terbentuk dalam dirinya.
Hal ini juga menjadi salah satu akar permasalahan mengapa banyak mahasiswa yang tidak memiliki pekerjaan. Hal ini karena minimnya bekal pengetahuan, keterampilan dan besarnya labelitas yang membuat mahasiswa mengurung dirinya dalam isolasi ruang gengsi.
Kritik Iwan Fals lewat lagu "Sarjana Muda" itu juga tidak lepas dari sistem dan paradigma pendidikan yang juga berimbas kepada sarjana. Melihat realitas sarjana justru terjebak dalam status quo yang sejatinya membuat stagnan di tahun 1980-an, telah menginspirasi dirinya dalam karya tersebut. Berkaca dari hal itu, Iwan Flas berpesan kepada sarjana saat ini "kepada sarjana jangan gengsi untuk bekerja tidak sesuai bidang, lapangan kerja tidak sebanding dengan sarjananya".
Menengok pahitnya nasib sarjana karena realitas yang tidak sesuai dengan ekspektasi, apakah hal ini masih layak menjadi sebuah konsensus sosial? Lalu apakah sebagai calon sarjana terlambat untuk menyadari dan mengubahnya? [Agung P]
KOMENTAR