Suatu ketika sekumpulan manusia bersayap mirip burung sedang 'kempruyuk' mengelilingi tembok-tembok surga. Para malaikat penjaga surga sontak terheran-heran melihat mahluk yang absen mereka lihat sebelumnya.
"Siapa kalian?" tanya malaikat penjaga
"Kami adalah umat Muhammad SAW," jawab mereka.
"Apakah kalian sudah dihisab?"
"Belum."
"Apakah kalian sudah melewati jembatan?" cecar malaikat
"Belum," jawab mereka tenang.
Malaikat semakin kebingungan, melihat para mahluk bisa sampai di Surga Yang Agung tanpa melewati timbangan pertanggung jawaban dan menyeberang jembatan (shirat). Padahal untuk menempati surga harus melewati tahapan demikian.
Malaikat pun kembali bertanya, derajat seperti apa yang membuat mereka begitu beruntung? Jawaban para mahluk ini begitu mengejutkan.
"Kami menyembah Allah di dunia dengan cara diam-diam (sirri) dan kami dimasukan ke dalam surga Allah secara diam-diam di akhirat," jawab kumpulan manusia bersayap itu.
Kisah ini dinukil dari kitab Durratun Nasihin (Mutiara Para Penasihat) karya Syeikh Utsman bin Hasan bin Ahmad Syaikh al-Khaukbawi. Beliau mengutip kisah tersebut dari sebuah hadis yang membahas keutamaan puasa.
Allah memberikan manusia -sebagai hamba-Nya yang berakal- ruang dialektika dalam berbagai ibadah yang disyariatkan. Syahadat, shalat, puasa, zakat, haji dan ibadah-ibadah lain tidak hanya sebatas formalitas ritualistik saja. Allah membuat komunikasi agar manusia mengenal lebih dekat wujud-Nya. Di antara ibadah-ibadah tersebut, puasa memiliki bahasa yang secara khusus menciptakan romantisme hubungan penghambaan.
Puasa yang secara esensial berarti mengendalikan syahwat perut (makan, minum), syahwat kemaluan (seks). Pengosongan diri seorang 'abd (hamba) dari segala macam hal keduniaan ini menjadi bahasa cinta yang diperuntukan khusus kepada Sang Kekasih. Kekosongan itu di isi dengan meningkatkan kulitas ibadah sebagai bentuk ketakwaan kepada Allah.
Ini alasan mengapa berpuasa menjadi sebuah usaha menghadirkan Allah secara lebih intim di setiap sisi kehidupan pelakunya. Mencoba menjalin kedekatan hati seorang hamba kepada sang pencipta. Merasakan rahmat atas segala ibadah yang dilakukan. Tuhan pun menyambutnya secara khusus.
Dalam sebuah hadis qudsi, Tuhan berfirman yang artinya: "Setiap amal perbuatan anak Adam untuknya kecuali puasa, puasa untuk-Ku dan Aku sendirilah yang akan membalasnya".
Ketika berpuasa tidak ada orang ketiga yang terlibat di dalamnya, selain dirinya sendiri dan Allah yang mengetahui. Tidak seperti ibadah lain yang kasat mata layaknya shalat yang terlihat isyarat geraknya, zakat yang disaksikan ijab kabulnya, ataupun haji yang beriringan dengan jamaah lain.
Dimensi vertikal yang terjalin ketika berpuasa mampu meningkatkan kualitas ibadah sebagai bentuk ketakwaan kepada Tuhan. Bagaimana seseorang lebih banyak memanfaatkan waktu selama puasa untuk melakukan ibadah. Seperti pergi ke masjid untuk shalat tarawih, memperbanyak membaca al-Quran atau mengontrol diri untuk tidak melakukan perbuatan maksiat.
Selain menjadi ibadah yang diperuntukan khusus untuk Allah, di sisi lain puasa juga memiliki implikasi sosial. Puasa mengandung dimensi horizontal yang membuat seseorang 'terhubung' dengan dunia di sekitarnya. Seseorang akan merasa senasib dengan orang di sekelilingnya saat berpuasa, sama-sama menahan hawa nafsu, sama-sama merasakan lapar dan haus.
Puasa dapat menjadi refleksi bahwa banyak nikmat yang patut disyukuri dari setiap pemberian-Nya, salah satunya berbagi dengan sesama. Hal ini menuntun manusia memahami maksud ibadah lain, seperti zakat, yang turut di syariatkan. Kepekaan ini diharapkan dapat menyentuh kesadaran manusia sebagai 'manusia' juga 'hamba' dan membuat kesalehannya terbentuk secara sempurna (Kaffah).
[Adha]
KOMENTAR