Raden Ajeng asal Jepara yang hari ini dirayakan itu, awalnya berkata begini;
"Saat sedang membicarakan orang lain, kamu boleh saja menambahkan bumbu, tapi 'bumbu' yang baik".
"Bumbu" ini -ketika sedang membicarakan orang lain, kata Kartini di dalam kalimatnya- menjadi metafora dalam linguistik yang selalu dikoridorkan dalam makna: berlebih-lebihannya. Itulah suatu serapan dari dan yang kemudian disebut-sebut; hyperbole/hiperbola.
Berlebih-lebihannya; Alasan mengapa itu selalu dikaitkan dengan seorang Athena yang saat mengamuk, politikus abad ke-5 SM bernama Hyperbolus. Seorang yang tercerita sering membuat janji dan klaim yang dilebih-lebihkan yang membuat orang menjadi hiruk pikuk.
Namun meski terdengar -terkait dengan; 'suatu yang lebih', seperti makna yang dimafhum, nama Hyperbolus sebenarnya tidak berperan dalam perkembangan kata hiperbola bahasa Inggris modern yang selanjutnya diserap.
Memang, Bumbu dalam kalimat Kartini sangat bisa bermaksud "sesuatu yang lebih" yang kemudian "ditambahkan saat membicarakan orang lain". Tapi, hiperbola bukankah tetap hiperbola? Mungkinkah laiknya maksud dari ucapan seorang yang bergelar 'ibu kita' itu pantas diberi nilai kepantasan? Bukankah bumbu itu yang selalu kita dan orangtua kita ajarkan untuk tidak memakainya karena itu terlalu sering direlasikan negasi? Kalau yang ada "yang baik" di kata selanjutnya, itu bukan yang wajar di kita.
Dalam Bumbu itu, sebenarnya ada makna hiperbolik sebelum kata "berlebihan", yakni "memberi kesan". Nah, bagi Kartini, barangkali ia sedetail itu membaca dan mengolah bahasa yang menjadikan ia mengucap "boleh saja menambahkan bumbu" yang bermakna "memberi kesan lebih". Dan Kartini tetap pada ketimurannya yaitu "tapi yang baik".
Membicarakan orang dengan bumbunya adalah salah jalan dimana beradaban ini tetap ada. Sebab hal itu dapat terlihat dari sinonim hiperbola, yang diantaranya; melukis dan memperhiasi. Sadar tidak sadar itulah alasan terbaik kita menjadi ada karena ada cerita yang dilukiskan dan dihiasi eksistensial yang isinya harapan.
Nah, sekian dekade terakhir, kita kehilangan detail seperti Kartini, kita semua menjadi pengoceh, terapung di lautan hiperbola, berteriak agar didengar, tentang: "AKU ITU ORANGNYA BLA BLA".
[Fajar Merdeka]
KOMENTAR