Perkembangan zaman menghasilkan teknologi canggih yang berdampak pada banjirnya arus Informasi. Hadirnya new media seperti Instagram, Facebook, dan Twitter memudahkan masyarakat untuk mengakses dan menyebarluaskan informasi tanpa batas ruang dan waktu. Dampaknya masyarakat akan semakin kaya informasi dan pengetahuan. Namun, di sisi lain banyaknya informasi terkadang memberikan pengaruh negatif karena semakin banyak informasi tidak benar yang beredar.
Kondisi tersebut didukung dengan data penggunaan internet di Indonesia. Berdasarkan data yang dilansir dari We Are Social, pada tahun 2020 jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 175,4 juta. Artinya berdasarkan jumlah penduduk di Indonesia mencapai 272,1 juta jiwa, maka ada sekitar 64 % masyarakat yang menggunakan internet (Detik.com).
Data tersebut menjelaskan bahwa kondisi masyarakat hari ini tidak bisa dilepaskan dari penggunaan internet. Artinya, masyarakat memiliki potensi besar untuk bersinggungan media sosial, sehingga dengan mudah menerima dan mengakses informasi.
Kondisi tersebut menandakan bahwa manusia telah memasuki era post truth. Suatu kondisi yang ditandai dengan banyaknya informasi yang mengandung unsur pembenaran walaupun hal itu terlihat salah. Informasi yang terlihat salah bisa dianggap benar jika khalayak umum membenarkan hal tersebut. Walaupun tanpa adanya usaha untuk menelusuri kebenaran informasinya. Akibatnya, tidak lagi berorientasi kepada kebenaran melainkan pembenaran yang berdasarkan subjektivitas dan opini golongan.
Era post truth menjadikan kebenaran bersifat semu. Hal ini disebabkan kebenaran tidak lagi diukur berdasarkan fakta dan objektivitas, melainkan mengutamakan sensasionalitas dan emosionalitas. Masyarakat akan lebih cenderung tertarik pada informasi yang melibatkan unsur perasaan yang menyentuh sisi psikisnya.
Logika sehat akan dikalahkan dengan sensasi dan emosi sesat. Dampaknya masyarakat akan terpengaruh dan terprovokasi dengan informasi tersebut.
Sebagai contoh kecil sebagian masyarakat menganggap bahwa makanan berlemak membuat badan akan menjadi gemuk. Asumsi tersebut telah menjadi kepercayaan masyarakat umum Padahal tidak semua lemak membuat seseorang menjadi gemuk. Ada jenis lemak tak jenuh yang justru tidak membuat gemuk.
Selain itu, informasi post truth juga hadir mewarnai ranah politik seperti pemilihan presiden Amerika Serikat antara Donald Trump dan Hillary Clinton pada 2014, Pilkada Gubernur DKI Jakarta pada 2017, dan Pemilihan Presiden Indonesia tahun 2019.
Filterisasi Informasi
Banjirnya arus informasi menjadikan masyarakat harus cerdas dalam menangkap informasi. Melakukan filterisasi informasi merupakan cara ideal untuk membedah kredibiltas dan kebenaran. Jangan sampai masyarakat dengan mudah menerima dan meyebarluaskan informasi yang belum diketahui kebenarannya.
Dengan ini masyarakat dituntut kritis dalam menerima informasi dan bijak dalam menyebarkan informasi di media sosial. Melaui cara demikian akan mengurangi informasi yang bersifat pembenaran bukan kebenaran.
Kemampuan filterisasi media sangat dipengaruhi literasi media masyarakat. Potter mengatakan “Taking control is what media literacy is all about”. Bahwa kemampuan literasi media yang baik akan mampu menbedakan batasan antara dunia nyata dan maya. Jika kita mampu membedakan realitas sosial dan realitas media, maka kita akan mampu lebih kritis dan tidak mudah dimanipulasi. Melalui kemampuan literasi media yang baik akan menjadikan masyarakat cerdas dalam menerima dan menelaah informasi.
Melakukan filterisasi informasi ini, kita telah diingatkan dengan adanya keterangan dalam Q.S Al-Hujurat ayat 10 yang mengatakan “Wahai orang-orang yang beriman jika diantara kamu menerima informasi dari seseorang (fasik), maka telaah dan teliti kebenaran informasi tersebut. Jangan sampai kamu menyesal akibat kebohongan informasi yang telah beredar luas”.
Ayat di atas memberikan gambaran kepada kita untuk senantiasa berhati-hati dalam menerima informasi, terutama di era post truth saat ini. Saring terlebih dahulu sebelum melakukan sharing.
Apalagi dengan diterbitkannya Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) oleh pemerintah. Yang termaktub dalam pasal 28 menyatakan “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditunjukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA)”.
Pasal tersebut memberikan gambaran bahwa menyebarkan informasi yang tidak benar dan menyebabkan permusuhan termasuk ke dalam perbuatan terlarang.
Mewartakan Kebenaran
Selain peran masyarakat dalam melakukan filterisasi informasi, wartawan dan media pun mengambil andil besar sebagai penyaji informasi. Benar atau tidaknya informasi yang disajikan akan sangat bergantung kepada kredibilitas wartawan dan media.
Unsur netralitas wartawan dan media menjadi nilai penting yang harus selalu dijunjung tinggi. Sehingga, masyarakat menerima informasi yang berdasarkan fakta, bukannya informasi yang sudah bercampur dengan berbagai kepentingan. Jangan sampai wartawan dan media mewartakan informasi yang mengandung unsur kepentingan yang berpijak pada keuntungan, bukan kepada kebenaran.
Mencari netralitas wartawan dan media di era post truth menjadi sesuatu yang sulit ditemukan. Apalagi jika menyangkut kepentingan politik. Masyarakat sering kali menjadi korban kebingunan dengan informasi yang diterima. Orientasi material sudah menjadi Tuhan walaupun itu melanggar kebenaran. Menyajikan informasi yang menarik masyarakat luas lebih menjadi prioritas utama walaupun bertolak belakang dengan fakta sebenarnya.
Undang-undang pers dan penyiaran tinggalah tulisan belaka yang tidak memberikan pengaruh. Berbagai unsur kepentingan telah menyelimuti wartawan dan media. Seperti ada istilah yang mengatakan "siapa yang menguasai media pasti ia akan dapat menguasai dunia".
Karena segala arus informasi pasti akan dengan mudah dikendalikan. Dengan demikian membangun kredibilitas personal seseorang menjadi sesuatu yang sulit dibandingkan menghadirkan teknologi. Percuma saja jika kecanggihan teknologi hanya digunakan sebagai alat untuk meraih kepentingan diri dengan mengorbankan kepentingan orang banyak. Oleh karena itu, membangun insan yang berkualitas secara spiritual dan intelektual sangat dibutuhkan dalam menghadapi era post truth.
Ahmad Romadhon Abdillah
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo Semarang
KOMENTAR