Plato, filsuf masyhur karena pemikiran besarnya. Ia lahir di Athena sekitar tahun 428 SM dilingkungan keluarga yang terbilang memiliki kekuatan politik tinggi di pemerintahan. Banyak karyanya yang melegenda telah menjadi acuan selama berabad-abad lamanya namun tetap eksis hingga sekarang.
Hampir semua karyanya, Plato sering membawa nama besar gurunya, Socrates untuk mengungkapkan pemikirannnya. Meskipun tak jarang, keberadaan Socrates di dalam karyanya menjadi satire. Lalu ide siapakah sebenarnya yang ditulis Plato?
Wacana dan perenungan Plato begitu gemilang sehingga mampu menjelaskan gagasan filosofisnya mengenai banyak hal, seperti alam, makhluk hidup, hinga masyarakat menjadi fokus pemikirannya.
Dalam pemikiran Plato, bentuk material bukanlah objek yang utama dalam kehidupan. Namun ada faktor lain yang mempengaruhi mengapa suatu hal bisa terjadi dan terkadang sulit untuk dijelaskan secara nalar. Terutama gagasannya terkait dunia ide, bentuk absolut dari segala bentuk yang ada di alam semesta.
Berbeda dengan dunia materiel yang mudah rusak dan fana, dunia Ide milik Plato menawarkan bentuk yang kekal dan abadi. Berkenaan dengan ini pula, banyak filsuf menganggap proyek filosofis Plato sebagai "dualisme metafisik". Gagasan bentuk "sempurna" dalam dunia ide Plato tidak hanya memproyeksikan kebendaan, tetapi juga tatanan ontologis yang membawa pemahaman akan pengetahuan yang jernih.
Sebagai contoh, Plato membayangkan bahwa pengetahuan berbentuk segitiga sama kaki yaitu yang memiliki tiga garis lurus sempurna dan sudutnya yang berjumlah tepat 180 derajat. Namun, sebuah segitiga yang digambar seseorang, meskipun ia menggunakan instrumen teknis, masih terapat kecacatan meskipun kecil. Belum lagi, segitiga yang digambar dalam bentuk materi memiliki kecenderungan untuk rusak, pudar, bahkan musnah.
Tidak hanya itu, Plato juga menerapkan teori ide absolut untuk semua makhluk hidup, termasuk manusia. Plato memandang manusia tidak hanya terdiri dari bentuk fisik yang sering disebut tubuh saja. Ia membagi manusia menjadi tiga unsur yaitu Ephitumia (nafsu-nafsu), Thumos (semangat), dan Logostikon (intelektual).
Pertama, Ephitumia digambarkan sebagai bagian tubuh dari perut ke bawah yang selalu mengutamakan pemenuhan kesenangan jasmani, seperti makan, minum, seks, hingga lainnya. Kedua, Thumos selalu haus akan kehormatan dan martabat. Sedangkan yang ketiga Logostikon, yang selalu mencari akan kebenaran dan pengetahuan.
Menurut Plato, penting untuk menjaga tiga unsur ini tetap seimbang dan harmoni demi mencapai kebahagian jiwa yang ideal. Plato sering dianggap egois karena merendahkan nafsu tubuh dengan selalu mengutamakan pengetahuan dan intelektualitas. Ia mengandaikan nafsu keduniawian sebagai makhluk berkepala banyak yang melahap dirinya sendiri. Plato selalu mengingatkan betapa pentingnya mengendalikan dorongan nafsu dan menjadi lebih bijaksana.
Oleh karena itu, Ketiga unsur tadi harus selalu berjalan seimbang dan saling bersinergi. Dalam hal ini, Thumos bisa menjadi jembatan yang baik jika benar-benar diaplikasikan dalam kehidupan. Lantas, apakah prinsip manusia ideal yang dicita-citakan Plato masih ditemukan di era modern seperti sekarang?
Era media sosial seperti sekarang ini, bisa menjadi representasi terbaik untuk manusia melakonkan aksi narsisme. Keinginan untuk selalu dipuji dan dipuja seperti dewa. Menjalankan undang-undang konsumtif dalam segala aspek. Mulai dari pembelanjaan pakaian yang berlebih, makanan, properti, serta gaya hidup lainnya yang sebenarnya tidak selalu dibutuhkan.
Manusia saat ini, secara tidak sadar masuk dalam perangkap dunia bujuk rayu serta kebahagiaan artifisial. Tunduk pada nafsu keduniawian dan menyerahkan secara penuh hidupnya pada jaring kapitalisme. Banyak orang yang memaksakan keinginan tersebut dengan menghalalkan segala cara. Mencuri, merampok, hingga menipu sudah menjadi kewajaran demi memenuhi eksistensi yang fana.
Kemilau modernitas yang lebih berbetuk konsumerisme barangkali menjadi salah satu ujian dari dewa untuk manusia. Sampai mana kebijaksanaan dan pengetahuan bisa diraih dan diterapkan dengan baik. Seperti yang dikatakan Socrates dalam Dialogue Plato, "Hidup yang tidak teruji, tak layak untuk dijalani". Dan manusia kini, menikmati ujian tersebut seakan menjalankan kehidupan dalam Taman Eden.
[Agung Rahmat]
KOMENTAR