![]() |
Ilustrasi |
Matahari baru saja terbit dari ufuk timur, perlahan-lahan sinar hangatnya menerangi bumi pertiwi. Kabut tipis yang menyejukan menggantung di atas sawah. Udara masih dingin, tapi bukan dingin yang menggigit—ini adalah dingin yang menenangkan, seperti pelukan seorang ibu kepada anaknya yang baru bangun dari tidur panjang.
Desa itu masih seperti kemarin, masih seperti puluhan tahun lalu. Jalan setapak dari tanah merah, rumah-rumah berderet tak terlalu rapat, dan suara ayam jantan bersahut-sahutan dari segala arah. Terlihat warga desa, dengan pakaian lusuh tapi wajah yang cerah, sudah mulai aktif mengisi ladang-ladang mereka dengan cekatan dan cakap. Sawah-sawah membentang seperti permadani yang digelar oleh tangan langit. Memperlihatkan kekayaan alam yang dimiliki Nusantara.
Pak Wiryo, lelaki sepuh dengan ikat kepala hitam dan baju lengan panjang yang digulung hingga siku, turun ke pematang sawah. Di tangannya tergenggam cangkul tua, mata bajanya sudah tak lagi mengilap, namun tetap setia menemani sejak masa ketika hujan masih lebih bisa ditebak daripada kebijakan.
Ia berhenti sejenak, menatap hamparan sawah yang sebagian telah menguning. Udara berhembus pelan memerpa wajah tegas Pak Wiryo, membawa aroma tanah yang akrab, seperti wangi kenangan. “Tanah ini bukan cuma bumi,” bisiknya lirih.“Ia adalah tubuh kita yang lain.”
Tak lama berselang, suara tawa anak-anak kecil memecah sunyi. Mereka berlarian di pematang, mengusik burung-burung yang tengah mematuk biji padi. Para perempuan mulai menanak nasi di pondok-pondok kecil, mengasuh bayinya dengan sebelah tangan. Kehidupan berlangsung dalam tenang dan damai.
Di seberang sawah, terlihat Mbah Citro mengangkat caping dan melambaikan tangan.
“Wiryo!” serunya. “Pagi ini panen, bukan?”
“Iya, Mbah. Padi sudah waktunya disabit. Tapi langit hari ini terasa berat.”
“Langit memang begitu sejak manusia berhenti menunduk padanya,” sahut Mbah Citro, tertawa kecil.
Hingga suasana hangat perlahan meredam seiring suara asing datang.
Mula-mula samar, lalu jelas. Deru kendaraan berat melintasi jalan sempit desa, mengangkat debu yang membuat penglihatan samar. Warga yang tengah menengadah kepada langit, menurunkan pandangannya ke tanah.
Lima mobil berhenti di ujung sawah. Dari dalamnya keluar beberapa lelaki berjas hitam, membawa map-map tebal dengan pandangan dingin. Di belakang mereka, berdiri tegak tubuh-tubuh kekar dengan pakaian preman dan wajah tak ramah. Mata mereka tidak melihat sawah sebagai lahan, melainkan sebagai halaman kosong dalam surat kepemilikan.
Pak Wiryo diam. Para petani lain yang melihat mulai berkumpul dengan raut wajah yang kebingungan. Mereka saling menatap, seperti ingin memastikan bahwa yang datang benar-benar nyata.
Seorang lelaki berkacamata melangkah maju. Suaranya datar, dingin seperti pagi yang kehilangan matahari. “Kami datang atas nama hukum. Kami ingin menyampaikan bahwa tanah ini termasuk dalam wilayah yang telah dialihkan hak gunanya kepada pihak kami. Mohon kerja samanya," jelasnya dengan tegas.
Tak ada yang menjawab. Hanya terdengar suara angin yang menggerakkan daun pisang di kejauhan.
Pak Wiryo menatap lelaki itu, lalu menunduk pada tanah di bawah kakinya. Ia berlutut, menggenggam segenggam lumpur dan mencium aromanya dalam-dalam. “Tanah ini tumbuh subur dari keringat ayah saya. Saya lahir di atasnya dan memberi nama pada setiap petaknya. Kalian bilang tanah ini milik kalian?”
Salah satu lelaki kekar melangkah cepat ke depan. "Hei pak, sesuai dengan yang telah kita jelaskan tanah ini sudah dialih fungsikan jangan bikin repot dan menurut saja. Kami bisa pakai cara lain kalau perlu!”
Laki-laki yang berkacamata tadi menahan perbuatan preman yang hendak melangkah ke depan para petani. “Pak, kami tak ingin ada keributan. Ini hanya urusan administratif. Kami mohon kerja samanya.”
Pak Wiryo menggeleng. “Tanah ini tidak administratif. Tanah ini saksi. Setiap langkah kami, setiap luka di telapak kaki, tercatat di sini. Bukan di map Tuan.”
Seorang preman tertawa, kasar. “Heh pak, jangan banyak omong. Kalau kami mau, bisa saja kalian semua kami gusur hari ini juga!”
“Gusur?” sela Pak Wiryo. “Kalian kira ini rumah kayu di kota yang bisa dibongkar pasang? Kami ini bukan menumpang. Kami ini bagian dari tanah.”
“Sudah! Mundur, Pak!” bentak si preman, lalu mendorong tubuh Pak Wiryo hingga jatuh ke tanah. Beberapa ibu-ibu menjerit. Anak-anak menangis.
Dan di situlah segala kesabaran pecah.
Tangan-tangan yang selama ini hanya tahu cara menanam, kini harus siap menahan dorongan, pukulan, bahkan kekerasan. Tubuh Pak Wiryo terhempas ke lumpur, lututnya terbentur keras, tapi tak ada erangan. Ia bangkit perlahan, menatap anak muda yang tadi mendorongnya.
“Saya tidak butuh surat. Saya hanya butuh pengakuan dari langit dan tanah bahwa saya telah merawatnya,” ucapnya pelan, tapi menusuk.
Anak-anak menangis. Ibu-ibu berteriak, dan para lelaki desa bersiap dengan apa yang bisa mereka genggam. Cangkul, kayu, bahkan tangan kosong. Tapi bagaimana bisa mereka melawan surat, kekuasaan, dan orang-orang yang tak bisa mendengar kecuali dengan teriakan?
Hari itu, sawah yang biasanya ramai oleh tawa dan nyanyian rakyat, menjadi medan kericuhan dan ketegangan. Tanah yang biasanya menerima benih, kini menerima air mata. Matahari, yang sejak pagi menggeliat perlahan, kembali bersembunyi di balik mendung.
Sebab tak semua pagi membawa terang. Ada pagi-pagi yang hanya datang untuk menyaksikan sesuatu direnggut, bukan oleh tangan Tuhan, tapi oleh manusia yang merasa lebih tinggi dari kehidupan itu sendiri.
Memperlihatkan ketidakadilan sedang berdiri gagah di tengah jerit perjuangan para petani.
[Lena Apriana]
KOMENTAR