Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu bangsa jika bangsa itu tidak ada kehendak untuk mengubahnya. Masa depan bangsa ditentukan oleh kualitas pendidikannya, dan kualitas pendidikan berada di tangan para pendidiknya.
Berabad-abad lamanya, Indonesia memegang semboyan "Tut Wuri Handayani" dalam sebuah pengajaran. Filosofi yang diprakarsai oleh Ki Hajar Dewantara ini bermakna "Dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan". Keberadaan seorang guru di antara murid-muridnya, tidak hanya bertugas memberikan informasi, tetapi juga memberikan arahan dan motivasi.
Tidak hanya itu, semboyan ini berkait dengan dua semboyan lainnya. Ing Ngarsa Sung Tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik, Ing Madya Mangun Karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus mencipatakan prakarsa dan ide).
Tiga ikhtisar dalam mendidik yang ringan diucapkan, namun butuh dialektika dalam penerapannya. Tidak semua guru, yang berijasah kampus ternama maupun yang jarang terdengar namanya mampu mengamalkan semboyan ini. Terlebih dengan seabrek tugas yang diterima guru di samping bertatap muka dengan para siswa.
Menjadi guru, bukanlah bakat. Tetapi penghayatan atas cinta seorang manusia kepada manusia lainnya, untuk saling berpengetahuan. Meskipun, guru saat ini lebih banyak dimaknai sebagai profesi. Penetapan atas status quo di tengah masyarakat, di antara miliaran profesi lainnya.
Barangkali saat ini, semboyan yang susah payah direnungkan oleh tokoh pendidikan tersebut sedang benar-benar diuji. Ketika para guru harus terpontang-panting dalam mentransfer pengetahuan kepada para muridnya. Sistem pendidikan masa pandemi yang mencipta batas antara pengajar dan yang diajar.
Namun, apakah pengamalan tiga semboyan ini benar-benar menjadi terhenti? Seharusnya tidak. Karena trilogi semboyan ini berdiri terpisah dari sistem dan birokrasi pendidikan. Nilai-nilainya bisa membumi oleh siapa saja, di mana dan kapan saja. Meski di dalam rumah sekalipun.
Kini, para orang tua di rumah menjadi pemegang kendali terbesar dalam mendidik anaknya. Tidak hanya mengajari moralitas, tetapi juga pengetahuan yang sudah dikonsepkan oleh dinas pendidikan.
Banyak orang tua yang mengeluhkan keadaan yang tercipta. Selain karena tidak semua orang di rumah memahami materi dari sekolah, tetapi juga karena kesibukan dalam melakukan pekerjaan.
Selama ini, beban pendidikan paling banyak diberikan kepada sekolahan dan para guru. Orang tua di rumah seakan lepas tangan terhadap bagaimana anaknya akan didik dan diajarkan pengetahuan. Tanpa mengetahui prosesnya, orang tua juga tak jarang menyalahkan para guru jika terdapat suatu hal yang tidak berkenan dengan persepsinya.
Belajar dari rumah selama pandemi memaksa orang tua berperan ganda. Memantau seluruh sistem pembelajaran yang harus diterima anak-anaknya. Tapi, bukankah ini memang sudah menjadi keharusan? Meskipun ada maupun tidak sistem belajar masa pandemi.
R.A Kartini pernah berkata, "Sekolah-sekolah saja tidak dapat memajukan masyarakat, tetapi juga keluarga di rumah harus turut bekerja. Lebih-lebih dari rumahlah kekuatan mendidik itu harus berasal".
Sistem pembelajaran di rumah ini memberikan ruang lebih bagi para orang tua untuk memahami dan memberikan dorongan kepada anak-anaknya. Mengajarkan bagaimana harus berpikir dan menemukan ide-ide kreatif. Meskipun, masih banyak para orang tua yang mengeluhkan dan kesusahan untuk memerankan perannya saat ini. Serta sistem pembelajaran dari rumah yang masih syarat perbaikan.
Rumah adalah lembaga pendidikan pertama yang dilalui seorang anak, dan ayah serta ibu adalah guru pertama untuk seorang anak mengenal dunia secara lebih baik. Pengamalan trilogi semboyan di atas tidak selalu harus dilafalkan dengan lantang, tetapi juga dalam praktik pengajaran oleh orang tua yang meski tanpa teks, mewakili semua teori pendidikan yang ada di seluruh perpustakaan.
Banyak orang saat ini sering terlewat dalam memikirkan makna "pendidikan". Yang terlintas ketika kata ini muncul, tak lain ilmu pengetahuan yang tersistem dan terkategorisasi. Ilmu eksak, ilmu alam, ilmu bahasa, dan lain sebaginya, yang kebanyakan berbentuk teori dalam berlembar-lembar buku bercap lembaga tertentu.
Orang-orang mulai melupakan pendidikan karakter, budaya, dan kreativitas yang juga sangat penting untuk didapatkan para murid. Terutama untuk melatih mengenali lingkungannya, tradisinya, nilai-nilai, serta mengenali diri sendiri. Lebih sering tertutup oleh setumpuk tugas berisikan jawaban "benar" dan "salah".
Pengajaran-pengajaran ini, bagi Kartini, harus sudah ditanamkan dari rumah. Oleh para orang tua, terlebih Ibu sebagai madrasah atau sekolah pertama untuk anak-anaknya.
Memperingati hari guru tidak semata-mata melakukan upaca bendera dan merayakan perjuangan guru-guru berseragam dan bergaji. Semua orang tua adalah guru, yang sangat fasih dalam hal "tanpa tanda jasa". Suksesnya manusia membelah rahasia semesta adalah berkat ajaran pengetahuannya. Sedangkan kesuksesan pengajaran, ada karena keterampilan dan ketulusan setiap yang menjadi "guru".
[Ainun Naf]
KOMENTAR