Pagi ini, ketika saya membuka gawai dan memeriksa pesan, rupanya sudah ramai dengan pamflet ucapan selamat hari sumpah pemuda. Begitupun dengan status whatsapp dan media sosial lainnya. Hal ini seakan menjadi kegiatan yang lumrah ketika hari besar tiba. Sesuatu yang terjadi terus menerus.
Apakah mungkin, deklarasi para pemuda di tahun 1928, dengan perjuangan dan pertumpahan darah hanya berakhir di pesan grup dan story WhatsApp?
Hal yang klise. Kita seolah terbuai oleh cerita kehebatan pemuda dan wacana utopis bahwa masa depan negeri ini ada di tangan para pemuda. Padahal, tidak ada hal lain yang kita lakukan selain menyampaikan tulisan, "Selamat hari sumpah pemuda!"
Tidak ada yang salah ketika kita mengenang peringatan hari ini. Terlebih ketika menghayati secara penuh apa yang tertuang di dalam deklarasi yang dikumandangkan 92 tahun silam. Membaca dan memahanmi sejarah memang menjadi jembatan terbaik untuk mempelajari nilai-nilai yang menjadi karakter diri dan bangsa.
Akan tetapi, apakah pesan-pesan yang tertuang di dalam sejarah dan semangat kemajuannya benar-benar sampai ke dalam diri kita? Tidak hanya menyebar pamflet dan membaca ulang kejadian yang telah lalu. Tetapi juga melakonkan diri sebagai penerus bangsa yang bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, sebagaimana yang dicita-citakan.
Sebelum angan kita melambung terlalu tinggi terkait peran dan tanggung jawab di masa yang akan datang, menjadi penting bagi kita untuk mempertanyakan produktivitas apa yang sudah kita lakukan hari ini.
Tak akan ada bunga jika tidak ada akar yang hidup. Impian dan cita-cita di masa nanti tidak akan terwujud ketika hari ini, yang kita lakukan hanya menanti tanpa melakukan apapun. Ir. Soekarno pernah mengatakan, "Seribu orang tua bisa bermimpi, satu orang pemuda bisa mengubah dunia".
Sebanyak apapun mimpi dan ide orang yang berumur, pasti akan terbatas tenaga dan kesempatan. Berbeda dengan pemuda, yang mempunyai kesempatan, energi, dan waktu yang jauh lebih banyak untuk melakukan produktifitas.
Akan tetapi, berbanding terbalik apabila rutinitas yang dilakukan hanya bermalas-malasan, managemen waktu yang buruk, dan terus menyalahkan keadaan. Harapan seperti apa yang digantungkan bangsa ini, pada para pemuda yang memahami dan mengembangkan diri saja masih enggan. Lagi-lagi, harapan dan cita-cita hanya akan menjadi angan yang utopis.
Untuk keluar dari zona nyaman, atau bahkan untuk berhenti tidak melakukan apapun, kita harus punya tekad yang kuat dan pantang menyerah. Dua hal yang mudah dipahami, namun sulit dalam penerapannya. Jika kita sudah bertekad akan sesuatu, dalam proses menggapainya akan banyak jalan yang membentang.
"Jika kita memiliki keinginan yang kuat dari dalam hati, maka seluruh alam semesta akan bahu membahu mewujudkannya," Ir. Soekarno.
[Riska Apriliza]
KOMENTAR