
Indonesia telah bebas dari penjajahan sejak 75 tahun lalu. Pada usia hampir satu abad ini, sistem demokrasi yang dijalankan idealnya memberikan hak dan kebebasan kepada seluruh elemen yang terkait. Tetapi dalam penyususnan dan penetapan undang-undang masih terdapat polemik yang belum selesai. Seperti undang-undang mengenai penghayat aliran kepercayaan atau biasa disebut agama lokal. Selain enam agama resmi, di Indonesia ada 180 aliran kepercayaan tingkat pusat dan 1.000 tingkat daerah (Samsul Maarif, Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di Indonesia).
Problematika tersebut terjadi sejak zaman Orde Lama. Pemerintah tidak memberikan ruang luas kepada para untuk mempraktikkan ritual aliran kepercayaannya. Sebaliknya, pemerintah justru membentuk badan pengawas untuk aliran kepercayaan agar tidak melakukan pemberontakan atau membentuk agama baru. Bahkan tragedi semakin miris karena aliran kepercayaan tesebut dianggap ikut terlibat dalam pemberontakan G30/SPKI (komunisasi).
Pada masa itu para penganut aliran kepercayaan harus masuk ke agama resmi jika ingin mendapatkan pelayanan pemerintah, seperti pernikahan. Dengan kondisi tersebut beberapa penganut ada yang meninggalkan alirannya. Walaupun saat itu narasi hak asasi manusia (HAM) menguat, namun aliran kepercayaan tetap mendapatkan diskriminasi dari pemerintah dengan tidak dicatatkannya dalam kolom agama di pencatatan sipil.
Pada tahun 1951, Departemen Agama mendefinisikan agama lebih inklusif yaitu dengan adanya Tuhan dan kitab suci. Walaupun definisi tersebut tidak disahkan tetapi cukup membuat kelompok kepercayaan termarginalkan. Mereka seolah menjadi orang asing di tanah sendiri.
Mengingkari UUD 1945?
Melihat fenomena di atas, pemerintah kurang serius dalam menjalankan undang-undang tentang jaminan kebebasan berkeyakinan. Dalam pasal 29 UUD 1945 menyebutkan, negara menjamin kebebasan kemerdekaan penduduk untuk memeluk agamanya dan beribadat menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
Sejak Indonesia terbentuk dan UUD 1945 ditetapkan, setiap warga negara memiliki hak dan kebebasan untuk memilih keyakinan atau kepercayaannya masing-masing. Dalam pancasila juga mengisyaratkan bahwa keadilan sosial harus dijunjung tinggi, termasuk dalam beragama. Namun masih saja terjadi diskriminasi aliran kepercayaan.
Peristiwa ini terus terjadi hingga puluhan tahun dan menjadi cacatan kelam sistem demokrasi Indonesia. Hingga kabar gembira datang ketika pemerintahan Jokowi mengeluarkan PP Nomor 40 Tahun 2019 tentang pelaksanaan UU No.23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Bahwa di cacatan sipil tertulis sebagai aliran kepercayaan juga warga penganut aliran kepercyaan menikah sesuai dengan tradisi di hadapan pemuka aliran.
Tetapi hal tersebut tidak menutup tindak diskriminasi agama di Indonesia. Masih terjadi kekerasan yang dilakukan antar pemeluk agama. Seperti yang terjadi di daerah Banyuwangi pada bulan Februari 2020 lalu. Sekolah nonformal umat Hindu dirusak oleh orang yang tak dikenal hingga merusak lima kitab suci Hindu dan sejumlah buku pelajaran. Dikutip dari Detik.com, kasus ini sudah kelima kali terjadi. Bukan hanya perusakan kitab suci dan buku, pelaku juga merusak fasilitas dan mencoretnya dengan gambar-gambar yang tidak senonoh.
Di bulan yang sama juga terjadi kasus perusakan tempat ibadah umat muslim di perumahan Griya Agape, kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Bahkan dalam kasus ini tersangka terus bertambah, dari lima orang menjadi delapan orang.
Memupuk Toleransi
Kekerasan dalam beragama menjadi permasalahan akut yang tidak pernah selesai di negeri ini. Tentu berbahaya jika dibiarkan. Pasalnya hal itu dapat memecah belah persatuan bangsa. Faktor yang memicu konflik seperti stratifikasi sosial, ekonomi dan politik, penafsiran dan keyakinan agama, juga metode dakwah menjadi permasalahan sendiri karena faktor yang begitu universal dan kompleks.
Untuk mengatasi permasalahan ini perlu adanya sikap toleransi dari masing-masing pemeluk agama, dan penghayat kepercayaan. Selain itu wawasan kebangsaan juga menjadi hal yang urgen. Internalisasi nilai-nilai Pancasila dalam praktik keberagamaan di masyarakat sangat berpengaruh dalam mewujudkan persatuan bangsa.
Untuk menyelesaikan konflik ini, pendekatan sosiologi-cultural-lah yang lebih tepat, bukan pendekatan teologi karena hal itu dapat memunculkan kecemburuan. Ketika menggunakan pendekatan teologi, hasilnya terlalu normatif, lebih mengarah pada benar dan salah.
Dalam kasus ini sosok Gus Dur menjadi contoh ideal dalam berbangsa dan bernegara. Konsep pluralisme mengajarkan kita menghargai dan menghormati perbedaan di negara multikultur ini. Pluralisme menjadi fakta yang harus diyakini seluruh umat bahwa tidak mungkin di dunia ini hanya ada satu golongan yang menguasai. Misalnya agama yang selalu dikaitkan dengan narasi minoritas dan mayoritas.
Perlu kita sadari bahwa agama hadir untuk perdamaian antar umat. Esensi beragama adalah terciptanya keharmonisan umat manusia. Maka segala hal yang menuju pada kekerasan, peperangan, dan lain-lain bukan mencerminkan ajaran agama.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terbentuk karena masyarakatnya mampu menjunjung tinggi perbedaan. Di negara demokrasi ini, setiap masyarakat memiliki hak untuk memeluk dan menjalankan agama atau kepercayaannya masing-masing. Sebagaimana yang tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945. Namun jika masalah kekerasan agama sering terjadi, mampukah Indonesia tetap utuh dan berdaulat?
[Safira]
KOMENTAR