Sapardi Djoko Damono |
Eyang Sapardi, sapaan akrabnya, menghembuskan napas terakhir pada usia 80 tahun. Kabar berpulangnya Sapardi tentu membuat kita semua berduka. Media ramai membincangkannya. Teman-teman saya sibuk memposting foto beserta caption berupa kutipan puisi Sapardi di media sosialnya masing-masing.
Sapardi adalah seorang sastrawan penting tanah air. Ia menulis puisi, cerita pendek, novel, dan naskah drama. Selain itu ia juga dikenal sebagai kritikus sastra dan penerjemah. Sejumlah karya fenomenal lahir dari tanganya. Di antaranya kumpulan puisi Hujan Bulan Juni, Yang Fana Adalah Waktu, Duka-Mu Abadi, novel Hujan Bulan Juni, Pingkan Melipat Jarak, Surti, kritik apresiasi sastra Bilang Begini Maksudnya Begitu, Alih Wahana, serta terjemahannya seperti Al- Mustafa karya Khalil Gibran dan Lelaki Tua dan Laut karya Ernest Hemingway.
Baca Juga: 5 Sastrawan Indonesia dan Puisi-puisinya yang Melegenda
Atas karya dan buah pikirnya tersebut, sastrawan kelahiran Surakarta, 20 Maret 1940 ini sukses menyabet beberapa penghargaan dari dalam maupun luar negeri. Ia menerima Cultural Award dari Australia pada 1978 dan mendapatkan SEA Write Award dari Thailand pada 1986. Sementara di tahun 1984 novelnya Perahu Kertas memperoleh penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1990 juga memberikan Anugerah Seni. Achmad Bakrie Award for Literature juga diterimanya pada 2003, disusul Khatulistiwa Award pada 2004, dan penghargaan dari Akademi Jakarta pada 2012.
Puisi Aku Ingin karya Sapardi Djoko Damono |
Saya pertama kali mengetahui nama Sapardi Djoko Damono ketika kelas 3 SMA. Saat berjalan-jalan di sebuah toko buku, buku Hujan Bulan Juni tampak cemerlang. Buku itu menarik perhatian dan menghentikan langkah saya. Saya membaca bagian sampul belakangnya yang terdapat kutipan puisi “Aku Ingin”. Seketika saya tersihir dengan kata-kata dalam puisi tersebut dan segera saya membeli buku itu.
Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono adalah buku kumpulan puisi yang pertama kali saya baca. Berkat buku itu pula, Sapardi telah menjerumuskan saya ke dalam dunia puisi. Segera setelah itu, ketika menjadi mahasiswa sampai saat ini, saya tertarik untuk membaca karya sastrawan Indonesia lainnya seperti Chairil, Rendra, Goenawan Mohamad, Subagio Sastrowardoyo, maupun karya dari sastrawan dunia seperti Khalil Gibran, Shakespeare, Pablo Neruda, Jalaluddin Rumi. Dan Hujan Bulan Juni milik Sapardi-lah yang menjembatani hal tersebut.
Dalam kepenyairannya, Guru Besar Sastra Indonesia UI itu memiliki ciri khas tersendiri. Diksi dan gaya bahasa yang digunakan tidaklah rumit dan padat seperti Chairil. Atau tidak juga terlalu tegas dan retorik seperti Rendra. Ia menggunakan diksi yang sederhana namun tetap meninggalkan kesan yang dalam. Seringkali metaforanya berupa alam dan benda-benda di kehidupan sehari-hari, sehingga imaji yang diciptakan sangat kuat. Selain itu unsur bunyi dan sajak dalam setiap larik maupun baitnya terdengar indah ketika dibacakan.
Setiap kali menikmati puisinya, kita akan menemukan diksi yang tak terduga, menyentak, membingungkan, namun justru membuat kita tergoda untuk terus membacanya. Contohnya dalam puisi “Hatiku Selembar Daun”:
hatiku selembar daun
melayang jatuh di rumput;
nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini;
ada yang masih ingin kupandang,
yang selama ini senantiasa luput;
sesaat adalah abadi
sebelum kausapu tamanmu setiap pagi
Atau juga dalam puisi “Sajak Kecil Tentang Cinta”:
mencintai angin harus menjadi siut
mencintai air harus menjadi ricik
mencintai gunung harus menjadi terjal
mencintai api harus menjadi jilat
mencintai cakrawala harus menebas jarak
mencintai-Mu harus menjelma aku
Namun di antara puisi-puisi Sapardi, yang menurut saya paling mengena dan dalam adalah “Pada Suatu Hari Nanti”:
pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau tak akan kurelakan sendiri
pada suatu hari nanti,
suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati
pada suatu hari nanti,
impianku pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau tak akan letih-letihnya kucari
Baca Juga: 5 Karya Fenomenal Sapardi Djoko Damono untuk Sastra Indonesia
Karena diksi yang digunakan sederhana dan unsur bunyinya sangat kuat, banyak puisi Sapardi dijadikan sebagai lagu. Para penikmat seni kemudian membuat musikalisasi dari puisinya. Alunan nada beradu harmoni dengan lirik-lirik romantik, terdengar indah memanjakan telinga. Hal ini juga menjadi semacam alih wahana untuk mengenalkan sastra lebih luas kepada masyarakat di era digital saat ini. Kita dapat menikmati puisinya tidak hanya lewat teks, tetapi juga audio dan vidio yang dapat diakses melalui internet.
Sapardi menjadi tokoh besar dalam khazanah kebudayaan kita. Ia dianggap sebagai pembaharu sastra Indonesia. Karya-karya fenomenalnya berhasil mempengaruhi para penulis setelah zamannya. Namun hari ini, Minggu (19/07/20), kita telah kehilangan sang maestro sastra tanah air tersebut. Biar pun ia telah meninggal dunia, tapi sosoknya akan selalu ada dalam setiap karya-karyanya.
Selamat jalan, Eyang Sapardi. "Yang fana adalah waktu," katamu. Lewat puisi, kau akan tetap abadi di hati kami
[Mahfud]
KOMENTAR