
Beberapa hari lalu, saya sempat berbincang santai dengan salah satu teman sekelas. Ia merupakan pengikut perkembangan fashion yang banyak beredar di media sosial, mulai dari tas, sepatu, serta pakaian.
Teman saya tadi tidak tentu selalu belanja rutin setiap bulan. Namun untuk memenuhi kebutuhan fashion-nya, ia harus menyisihkan sebagian uang sakunya terlebih dahulu sebelum membeli barang favorit. Terkadang, ia pun rela berpuasa demi memenuhi kebutuhan fashionnya.
Biasanya ia tertarik dengan barang yang baru diluncurkan. Style tersebut akan dengan mudah viral di media sosial seperti Instagram maupun Facebook jika dianggap unik dan berbeda dengan tren sebelumnya.
Sebagai pngikut tren, teman saya memiliki cara dalam memenuhi kebutuhan fashion-nya, salah satunya dengan memburu promo cashback di situs e-commerce. Antusiasme yang tinggi untuk mencari promo tersebut tentu dimanfaatkan oleh situs-situs e-commerce. Selain menguntungkan situs e-commerce, cashback juga menguntungkan pengikut tren. Mereka bisa mendapat uang kembalian atau sejumlah poin dari promo yang didapatkan setelah melakukan transaksi pembayaran.
Para pengikut tren memiliki karakter tersendiri dalam memuaskan fashionnya. Mereka cenderung membeli barang yang sedang viral untuk memenuhi gaya hidup. Mereka akan melakukan pencarian terlebih dahulu mengenai barang tersebut di salah satu situs e-commerce di Indonesia. Sehingga, mereka sudah memiliki referensi secara spesifik mengenai barang yang akan dibeli.
Ingin Dianggap Keren
Ingin dianggap keren menjadi salah satu sifat sosial yang dimiliki manusia. Mereka tentu akan berlomba-lomba untuk menunjukkan bahwa kata 'keren' telah pantas berada dalam dirinya. Mengikuti perkembangan fashion merupakan salah satu cara yang dianggap dapat memberikan nilai keren tersendiri pada diri mereka.
Seperti yang disampaikan psikolog Tara Adhisti de Thouars, mengenai orang yang kerap mengenakan pakaian bermerk. Umumnya orang tersebut ingin memamerkan status sosialnya yang tinggi karena dapat meningkatkan rasa percaya diri.
Menjadi pengikut tren juga lebih mudah terpengaruh terhadap model fashion keluaran terbaru. Artinya, pengikut tren selalu mencari kepuasan dalam memenuhi gaya hidupnya.
Menjadi pengikut tren juga memiliki dampak negatif terhadap diri sendiri. Hal ini pernah disampaikan oleh Professor Psikolog Universitas Virginia, Joseph Allen dalam penelitiannya mengenai whatever happened to the cool kids? Menunjukkan bahwa, remaja yang berusaha menjadi keren di antara teman-temannya lebih berisiko mengalami berbagai masalah. Seperti terbebani tuntutan untuk tampil keren dengan apa yang mereka pakai. Selain itu, mereka juga tidak memiliki waktu untuk mengembangkan diri karena orientasi hidupnya ingin mendapatkan pengakuan dari orang lain.
Semakin banyak seseorang melihat kehidupan orang lain di media sosial, maka semakin tidak nyaman pula perasaan hatinya. Mereka mengeluh tidak mendapatkan gaya hidup yang diinginkan, tetapi mereka melihat orang lain mampu mencapainya. Hal itu tentu saja menimbulkan perasaan iri bagi mereka yang tidak mampu memenuhi kebutuhan fashionnya (Kompas.com).
Hilangnya Jati Diri
"Satu dari sedikit anugerah dalam hidup di abad kecemasan ini adalah bahwa kita dipaksa untuk menyadari diri kita sendiri”.
Ungkapan tersebut bisa menjadi reflkesi bagi diri sendiri di masa sekarang. Di mana sekarang ini jati diri manusia bisa hilang karena mereka selalu mengikuti gaya orang lain dan tidak percaya dengan dirinya sendiri. Orang yang cenderung mengikuti tren biasanya tidak memiliki karakter yang kuat dan cenderung plin-plan.
Anehnya, menjadi pengikut tren justru digemari oleh kalangan milenial. Mereka justru berlomba-lomba untuk paling eksis didunia maya dengan menampilkan style fashion yang sudah dijiplak dari sosok trensetternya.
Sebenarnya tidak apa-apa jika ingin membeli baju, sepatu, atau kebutuhan fashion yang sedang tren di media sosial, namun apakah keren hanya dapat dinilai dari mengikuti tren?
[Mitha]
KOMENTAR