![]() |
Gambar: Kompas.com |
Berkurban, selain ibadah mahdhah berupa ketaatan murni kepada Allah SWT dalam bentuk menyembelih hewan, juga mempunyai nilai-nilai sosial yang sangat luhur. Di balik pensyariatannya, Allah mengingatkan kepada manusia betapa banyak nikmat yang telah Dia berikan. Dan setiap ibadah yang disyariatkan kepada hamba-Nya, terdapat berbagai hikmah yang terkandung. Namun, tidak jarang manusia lupa untuk mensyukuri semua nikmatnya.
Padahal, manusia sangat beruntung telah diciptakan dalam bentuk sempurna. Seperti yang termaktub dalam Surat at-Tin ayat 4 bahwa manusia dikaruniai akal serta kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh mahluk lain seperti hewan dan tumbuhan. Sayangnya, banyak di antara manusia yang tidak mensyukuri nikmat kemanusiaannya.
Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitab Maraqi al-‘Ubudiyyah, mengutip Imam al-Ghazāli, ia menjelaskan bahwa di dalam diri manusia terdapat empat sifat yang selalu bergejolak dan berperang satu sama lain. Keempat sifat tersebut antara lain sifat al-sabu’iyyah (sifat binatang buas), sifat al-bahimiyyah (sifat hewan atau ternak), sifat al-syaithaniyyah (sifat setan), dan sifat al-rabbaniyyah (sifat ketuhanan atau bijaksana).
Pada saat itu, manusia berada pada derajat yang paling rendah di antara mahluk lainnya. Serta tidak jarang di antara mereka yang malah lebih rendah dari hewan atau binatang yang paling hina sekalipun. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al A'raf ayat 179, "Mereka (tidak ubahnya) seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi”.
Namun, ketika sifat keempat lebih mendominasi hati manusia, akalnya difungsikan untuk membedakan antara hal-hal positif dan negatif dalam kehidupannya, maka saat itulah manusia mencapai hakikat kemanusiaan. Dan ia telah membuktikan bahwa dirinya merupakan mahluk terbaik dari semua makhluk yang ada.
Hilangnya Substansi Kurban
Dalam sebuah kisah, saat pertama kali kurban terjadi di muka bumi, anak Nabi Adam Qabil dan Habil sama-sama berkurban dan berusaha sekuat tenaga untuk menjadikan kurbannya diterima. Namun karena hilangnya substansi kurban dari seorang Qabil yang mengorbankan sesuatu yang tidak sempurna dan yang tidak dia sukai, maka kurbannya pun ditolak. Sementara kurban Habil yang dia persiapkan dengan sebaik mungkin akhirnya diterima oleh Allah SWT.
Jika dikontekstualisasikan pada zaman sekarang, berkurban mempunyai dua kriteria. Pertama, memenuhi standar sah dan tidaknya menurut hukum syariat (fikih). Kedua, memetik arti dari ibadah kurban tersebut secara langsung yang nantinya tidak hanya diterapkan pada saat Iduladha semata, namun juga menjadi tradisi dan kebiasaan yang melekat erat di dalam jiwa umat Islam. Seandainya hal ini bisa diwujudkan, maka di sanalah persatuan akan dapat dirajut demi kejayaan Islam pada masa-masa yang akan datang.
Hal inilah salah satu dari sekian banyak hikmah yang sering dilupakan oleh hampir sebagian besar orang yang berkurban. Mereka hanya memaknai kurban sebagai sebuah serimonial belaka yang hampa nilai dan substansi. Sehingga wajar jika setelah berkurban, tidak ada perubahan sifat ke arah yang lebih baik pada diri manusia.
Di sisi lain, Allah SWT telah menciptakan hewan dan seluruh binatang melata di muka bumi seperti kuda, keledai, dan binatang-binatang lainnya agar ditunggangi dan dikuasai oleh manusia untuk mempermudah pekerjaan mereka. Namun entah kenapa pada saat ini malahan manusialah yang ditunggangi oleh sifat-sifat negatif hewan atau binatang tersebut.
Sehingga yang terjadi, semakin banyak kekerasan yang dilakukan oleh manusia. Di mana orang yang kuat menindas mereka yang lemah. Pemerasan dan bahkan pembunuhan menghiasi keseharian kita. Kasus-kasus korupsi melanda hampir sebagian besar kalangan elit politik di negara ini.
Padahal sebenarnya mereka tahu dan melihat langsung masih banyak anak yatim yang terlantar, puluhan ribu orang menjadi tunawisma akibat bencana alam, dan orang-orang yang masih kelaparan karena tidak mempunyai uang. Namun semuanya dipandang sebelah mata akibat sifat binatang yang belum disembelih dalam jiwa dan hati mereka.
Wajar jika Ali Mustafa Ya'qub mengatakan bahwa sementara ahli hikmah memaknai penyembelihan hewan kurban itu dengan penyembelihan sifat-sifat kebinatangan yang terselip di dalam jiwa manusia seperti rakus, tamak, loba dan lain sebagainya. Selama sifat-sifat tersebut masih bercokol dalam hati mereka, maka selama itu juga manusia akan jauh dari hakikat kemanusiaannya.
[Laily]
KOMENTAR