
"Yaaah, kuotanya habis, harus nunggu satu bulan lagi deh," kata salah seorang teman yang gagal mendaftar TOEFL-IMKA.
Salah seorang teman saya kecewa lantaran dirinya gagal mendapatkan kursi TOEFL-IMKA. Padahal dia sudah menunggu pembukaan pendaftaran dari pagi sekali. Bagaimana tidak, pendaftaran ujian dua bahasa itu dibuka jam 8 pagi, itupun harus rebutan dengan mahasiswa lain. Belum lagi jaringannya yang sering eror.
Pendaftaran TOEFL-IMKA hanya dibuka pada tanggal 26 setiap bulannya. Kuota yang disediakan hanya beberapa ratus kursi, padahal yang ingin mendaftar ada ribuan. Kursi yang disediakan jelas tidak sebanding dengan jumlah mahasiswa. Bayangkan saja, pendaftaran dibuka hanya sebulan sekali, kursi yang disediakan tidak seberapa, siapa yang gak pengen sambat coba? Belum lagi kalau jaringannya eror, banyak mahasiswa mulai misuh-misuh via medsosnya masing-masing.
Mahasiswa dituntut kampus untuk segera lulus, tapi dipersulit dengan segala persyaratannya yang rumit. Saya sering kali mendapatkan curhatan teman yang mengeluh karena kuotanya habis. Bukan, bukan kuota internetnya, tapi kuota kursi TOEFL-IMKA. Mereka berharap sekali mendapatkannya, pasalnya saat itu ia sudah menginjak semester akhir. Meski skripsinya sudah selesai, kalau TOEFL-IMKA belum lulus, tetap saja gak bisa wisuda. Harus bayar UKT lagi di semester depan.
TOEFL-IMKA diadakan sebagai wadah bagi mahasiswa untuk belajar dan mengasah kualitas bahasa asing. Sehingga, ketika lulus nanti, mahasiswa memiliki bekal jika ingin melanjutkan studi, khususunya luar negeri. Begitu pandangan dari kampus. Namun nampaknya, hal itu tidak berlaku untuk mahasiswa.
Bagi sebagian mahasiswa, adanya TOEFL-IMKA justru menghambat dan membatasi ruang gerak mereka. Sistem pendaftaran dan proses yang rumit menjadi salah satu tembok penghalang mereka untuk lulus. Sehingga, bukannya menguasai bahasa asing, justru bahasa umpatan yang keluar.
Jika kampus menginginkan kualitas, tentunya perlu diimbangi dengan kuantitas yang ada. Mengejar visi-misi kampus untuk mengembangkan kualitas, tentu boleh-boleh saja. Namun, sering kali tidak imbang dengan kuantitas yang ada.
Alasan sedikitnya jumlah tenaga kerja di balik terbatasnya sistem TOEFL-IMKA sudah menjadi hal klasik yang tidak asing terdengar. Harusnya ini menjadi sorotan. Dan perlu ditanggapi serius. Kuota pendaftaran di jumlah dan waktu yang terbatas, sampai saat ini masih menjadi problem yang perlu diselesaikan.
Wisuda Sistem Kuota
Tidak hanya sistem TOEFL-IMKA, wisuda pun sekarang menggunakan sistem kuota. Sistem ini muncul lantaran jumlah wisudawan semakin bertambah banyak, namun kapasitas aula terbatas. Di antara menambah kapasitas aula atau memperbanyak frekuensi jadwal wisuda, pihak kampus memilih yang kedua.
Wisuda dengan sistem kuota dianggap menjadi solusi alternatif menanggulangi jumlah wisudawan yang semakin banyak. Begitu anggapannya. Tapi, ekspektasi tak selalu sesuai dengan realita. Pada awal pelaksanaannya Agustus 2019 lalu, kuota yang disediakan tidak sebanding dengan jumlah pendaftar wisuda, sehingga terpaksa menambah kuota lagi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sistem tersebut masih belum efektif digunakan.
Wisuda sistem kuota menuntut mahasiswa untuk berlomba-lomba segera cepat lulus. Agar lebih semangat, katanya. Namun, ketika banyak yang mendaftar wisuda, semua kembali berebut kuota yang ada. Lagi-lagi, siapa cepat dia dapat. Jika terlambat, harus menunggu di lain waktu. Kan nyesek.
Entahlah, di balik segala macam sistem kuota yang diberlakukan, pastilah kampus sudah mempertimbangkannya. Tentunya dengan segala macam kelebihan dan kekurangan yang ada. Meski begitu, setiap aturan yang berlaku harus tetap perlu adanya kontrol untuk menjalankan sistem tersebut, agar nantinya tidak menjadi penghalang dan batu sandungan bagi mahasiswa yang ingin membanggakan kedua orangtuanya. [eL]
KOMENTAR