Dengan penuhnya bahasa yang ada di dunia, kita sering bingung dengan kata apa yang pantas untuk diucapkan dan disampaikan. Apalagi dengan kecepatan media sosial yang kini menjadi parameter berbicara atau berdiskusi.
Semua pembicaraan kini dimulai melalui media sosial. Sehingga kekacauan bahasa sering terjadi dan menimbulkan banyak konflik. Mulai dari konflik individu hingga konflik sosial. Salah satu kasus yaitu kekacauan di Papua yang terjadi karena ketidakselarasan pemahaman bahasa yang berbeda.
Kita juga melihat betapa riuhnya adu kata ketika Pemilihan Umum (Pemilu) bulan April lalu. Banyak orang berebut berbicara hingga menimbulkan kekacauan di ruang publik hanya karena bahasa yang kurang sesuai.
Banyak orang tersulut emosi karena kecepatan bahasa dalam media sosial. Juga kurangnya ketenangan dalam menerima kata yang disampaikan oleh orang lain. Hal itu disebabkan karena informan tidak bisa menyampaikan kata yang bisa diterima dengan baik. Pun receiver juga tidak bisa menimbang dengan baik kata yang mereka dapatkan.
Baca Juga: Nadiem Makarim dan Nasib Pendidikan Indonesia
Kaya Bahasa
Indonesia memiliki banyak bahasa daerah. Menurut Summer Institute of Linguistics, jumlah bahasa di Indonesia sebanyak 719 bahasa daerah dan 707 di antaranya masih aktif dituturkan.
Jika Indonesia saja memiliki begitu banyak bahasa, bayangkan, berapa bentuk bahasa yang dipahami manusia di dunia saat ini.
Dengan begitu kayanya bahasa yang ada di dunia, mengapa seseorang pada titik tertentu mengalami situasi "tanpa kata" atau tidak bisa berkata-kata?
Seperti halnya ketika kita cinta akan sesuatu hal, untuk mengungkapkan saja rasanya sungguh sulit. Begitu pun ketika melihat sesuatu yang di luar nalar, kita hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
Baca Juga: Ketika Pemula Agama Disulap Jadi Pemuka Agama
Kedamaian Hati
Menurut Jalaluddin Rumi, tanpa bahasa adalah suatu bentuk dari bahasa itu sendiri. Yakni, proses kita memahani sesuatu yang tidak terpahamai, bisa melalui keheningan dan bertanya pada diri sendiri.
Keheninganlah yang kiranya akan menjadi bahasa murni bagi kenyataan diri, dan tidak ada lagi kemampuan penolakan akan bahasa itu sendiri. Seperti argumen Osho dalam bukunya Awareness: A Key to Living in Balance yakni yang ia sebut non-verbal experience, hiduplah dari saat ke saat dengan mengalami kenyataan, tanpa pengaruh bahasa.
Nampaknya, "kenyataan" menjadi sesuatu yang harus kita lalui tanpa memberikan nama atau embel-embel bahasa apapun. Kita sekedar mengalaminya saja, tanpa harus menilai baik atau buruk, mengejar atau menolak apapun yang terjadi di sini dan saat ini. Sederhananya, orang bilang "lakukan saja".
Sehingga kita menjadi pengamat yang hening (silent observer) dalam kejadian apapun. Meskipun dalam kondisi yang sangat ramai, kita dapat bergerak dengan aktif dan bekerja di dalam dunia dengan mengalami keheningan dan ketenangan dalam hati.
Nampaknya pengalaman "tanpa kata" bisa menjadikan diri dalam kejernihan, kedamaian, dan keheningan yang mendalam. Hal itu dirasakan karena dalam bahasa, terdapat beban masa lalu. Bahasa adalah penafsiran saat ini dengan berpijak pada masa lalu.
Ketika bahasa berada dalam kerangka masa lalu, kita akan terjebak dalam kegelisahan dan penderitaan. Akhirnya saat kita mengalami fase berada dalam kata dan bahasa, kita tidak bisa hidup di sini dan saat ini.
Mengalami dunia tanpa kata, sebenarnya menjadikan diri kita merasakan dunia apa adanya. Kita tidak menambah atau mengurangi pengalaman kita sendiri. Kita menjadi pengamat yang hening atas realitas yang terjadi. Hingga di dalam keadaan yang ramai dan sibuk, kita masih bisa merasakan keheningan dan kedamaian dalam batin.
Kita pun tidak lagi reaktif terhadap keadaan, yakni secara buta bereaksi tanpa pertimbangan yang matang. Kita bisa hening, sehingga sadar pada tindakan yang kita lakukan. Jadi dalam hidup yang kompleks ini, sesekali kita harus menikmati pengalaman tanpa kata. [Nizar]
KOMENTAR